Bagian 1
Pengantar Ushul Fiqh
A.
Pengertian
Ushul Fiqh
Pengertian
Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul
dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari
ilmu-ilmu Syari'ah.
Dilihat
dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh
tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua
buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.
Kata
Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti
sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul
menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan
dasar bagi fiqh. Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil,
seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim :
Artinya:
"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."
"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."
Dan
dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti
dalam ungkapan sebagai berikut :
Artinya:
"Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ".
"Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ".
Dengan
melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul
Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan
aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.
Fiqh
itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan
menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy,
pengertian fiqh yaitu:
Artinya:
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Yang
dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil
menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada
kewajiban shalat.
Artinya:
".....dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)
".....dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)
Atau
seperti sabda Rasulullah SAW :
Artinya:
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Hadits
tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar. Dengan penjelasan
pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian
dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan
dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara'
mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Tidak
lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata
tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu
bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf
memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan :
Artinya:
"Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
"Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Maksud
dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum
syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan
cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum
syara'; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang
dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :
Artinya
: "Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk
memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang
terperinci."
Dengan
lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul
Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam
mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash
syara'
dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat
(alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta
kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu
Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan :
Artinya:
"Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum
Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."
B. Tujuan Ilmu Ushul Fiqh
Setelah mengetahui definisi ushul fiqh
beserta pembahasannya, maka sangatlah penting untuk mengetahui tujuan dan
kegunaan ushul fiqh. Tujuan yang ingin dicapai dari ushul fiqh yaitu untuk
dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dali syara’ yang terperinci agar
sampai pada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali. Dengan ushul fiqh pula
dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki aturan yang jelas atau bahkan
tidak memiliki nash dengan cara qiyas, istihsan, istishhab dan berbagai metode
pengambilan hukum yang lain. Selain itu dapat juga dijadikan sebagai
pertimbangan tentang sebab terjadinya perbedaan madzhab diantara para Imam
mujathid. Karena tidak mungkin kita hanya memahami tentang suatu hukum dari
satu sudut pandang saja kecuali dengan mengetahui dalil hukum dan cara
penjabaran hukum dari dalilnya. Para ulama terdahulu telah berhasil merumuskan
hukum syara’ dengan menggunakan metode-metode yang sudah ada dan terjabar
secara terperinci dalam kitab-kitab fiqh. Kemudian apa kegunaan ilmu ushul fiqh
bagi masyarakat yang datang kemudian?. Dalam hal ini ada dua maksud kegunaan,
yaitu:
Pertama, apabila sudah mengetahui
metode-metode ushul fiqh yang dirumuskan oleh ulama terdahulu, dan ternyata
suatu ketika terdapat masalah-masalah baru yang tidak ditemukan dalam kitab
terdahulu, maka dapat dicari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan
cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu.
Kedua, apabila menghadapi masalah hukum
fiqh yang terurai dalam kitab fiqh, akan tetapi mengalami kesulitan dalam
penerapannya karena ada perubahan yang terjadi dan ingin merumuskan hukum
sesuai dengan tuntutan keadaan yang terjadi, maka usaha yang harus ditempuh
adalah merumuskan kaidah yang baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru
dalam fiqh. Kemudian untuk merumuskan kaidah baru tersebut haruslah diketahui
secara baik cara-cara dan usaha ulama terdahulu dalam merumuskan kaidahnya yang
semuanya dibahas dalam ilmu ushul fiqh
C. Ruang
Lingkup Ilmu Ushul Fiqh
Topik-topik
dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini
meliputi:
a.
|
Bentuk-bentuk
dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah,
makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah,
batal, azimah dan rukhshah).
|
b.
|
Masalah
perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti
apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak,
menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri
atau dipaksa, dan sebagainya.
|
c.
|
Pelaku
suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku
itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak,
apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
|
d.
|
Keadaan
atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang
disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia
yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid
samawiyah.
|
e.
|
Masalah
istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah
lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan
muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
|
f.
|
Masalah
ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi
kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad,
syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
|
g.
|
Masalah
adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah,
ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf,
syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus
syari'ah/ususus syari'ah.
|
h.
|
Masa'ah
rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul
illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran,
as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat
tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
|
Sesuatu
yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan
ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan. Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul
Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu
tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu
tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu
tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak
akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan
dari kaidahnya.
Ushul
Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan
syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui
bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga
dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti
perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan
untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau
penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam
yang bersifat universal itu.
Dengan
Usul Fiqh :
-
|
Ilmu
Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat
manusia.
|
-
|
Statis
dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
|
-
|
Orang
dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia
pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia
sepanjang zaman.
|
-
|
Sekurang-kurangnya,
orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh
seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka
gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa
atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka
lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam
menetapkan hukumnya.
|
Dengan
demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi Mujtahid,
mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi' ialah orang
yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengan
demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang
penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk
dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang.
Melihat
demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua
perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.
Bagian 2
Sumber dan dalil hukum islam
A. Al-Qur’an
1. Pengertian
Al-Qur’an
Al-Qur’an
merupakan kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam
kajian ushul fiqh Al-Qur’an juga disebut dengan Al-Kitab.
Secara
etimologis, Al-Qur’an adalah masdar dari kata qa-ra-a, setimbangan dengan kata
fu’lan. Ada dua perngtertian AL-Qur’an
dalam bahasa Arab, yaitu Qur’an berarti bacaan dan apa yang tertulis
padanya, maqru, serta ismu al-fi’il (subjerk) dari qara’a.
Dari
segi terminologi, Al-Qur’an adalah kalam Allah berbahasa Arab yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan perantara Malaikat Jibril serta diriwayatkan
secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.
2. Fungsi
Al-Qur’an
Al-Qur’an
berfungsi sebagai pedoman bagi kehidupan dan penghifupan manusia untuk mencapai
kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Umat
Islam membutuhkan Al-Qur’an karena AL-Qur’an :
a. Mengajak
manusia untuk menggali isinya.
b. Menjadi
peringatan untuk seluruh manusia yang bersifat universal.
c. Sebagai sumber
informasi untuk segala hal.
3. Pokok-pokok isi
kandungan Al-Qur’an
Pokok-pokok
isi kandungan Al-Qur’an mencakup beberapa hal antara lain sebagai berikut :
a. Tauhid, segala inti dari seluruh akidah
(kepercayaan) karena ada manusia yang menyembah berhala dan adapula yang
menyembah Allah
b. Ibadah, menghidupkan rasa ketauhidan dalam
hati dengan arti hubungan antara makhluk dan khaliknya.
c. Janji baik
dan janji buruk, janji
baik terhadap orang yang dikehendaki Allah. Janji buruk terhadap orang yang
tidak berpegang dengan Al-Qur’an.
d. Menjelaskan
jalan kebahagiaan dan cara-cara melaluinya
e. Cerita-cerita
dan sejarah-sejarah, yaitu kisah para Rasul dan orang-orang shaleh, orang-orang
yang tidak mengindahkan ajaran agama secara dzahir.[1]
4. Cara Al-Qur’an
dalam menetapkan hukum
Adapun
cara Al-Qur’an dalam menetapkan hukum adalah :
a. Tidak
memberatkan dan menyusahkan, misalnya, manqashar shalat, tidak berpuasa karena
musafir, bertayamum, memakan makanan terlarang dalam keadaan darurat.
b. Tidak
memperbanyak beban tuntutan, misalnya zakat hanya diwajibkan bagi orang-orang
yang mampu saja.
c. Berangsur-angsur
di dalam mensyariatkan sesuatu, misalnya, pengharaman minuman keras mengalami
proses sampai tiga kali, kemudian diputuskan tidak boleh.
5. Keumuman
hukum-hukum Al-Qur’an
Keumuman
hukum-hukum Al-Qur’an memerlukan penjelasan dari hadits-hadits Rasulullah SAW.
Batas-batas pencakupannya dan dapat diterapkan untuk kuantitas dan kualitas
peristiwa yang terjadi.
6. Ciri khas dan
Keistimewaan Al-Qur’an
Al-Qur’an
mempunyai ciri-ciri khas dan keistimewaan sebagai berikut :
a. Lafal dan
maknanya datang dari Allah dan disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
b. Al-Qur’an
diturunkan dengan lafal dan gaya bahasa Arab, seperti yang difirmankan Allah
SWT.
$¯RÎ)
çm»oYù=yèy_
$ºRºuäöè%
$|Î/ttã
öNà6¯=yè©9
cqè=É)÷ès?
ÇÌÈ
Artinya
: Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu
memahami(nya).
c. Al-Qur’an
disampaikan/diterima melalui jalan tawatur yang menimbulkan keyakinan dan
kepastian tentang kebenarannya.
B. AL-Hadis
1. Pengertian
Hadis
Hadis
menurut bahasa mempunyai beberapa arti, yaitu jadid berarti baru;qarib
berarti dekat;khabar berarti berita atau warta dan sebagainya.
Menurut
istilah, hadis mempunyai beberapa pengertian yang berbeda. Perbedaan itu
disebabkan oleh berbedanya para ulama dalam memandang hadis. Artinya, dari
sudut mana mereka memandangnya
2. Kedudukan Hadis
Para
ulama menetapkan bahwa hadis Rasul menjadi hujjah dalam agama Islam, disamping
Al-Qur’an, baik tentang menghalalkan atau mengharamkan suatu perbuatan.
Firman
Allah SWT :
!!$tBur
ãNä39s?#uä
ãAqߧ9$#
çnräãsù
$tBur
öNä39pktX
çm÷Ytã
(#qßgtFR$$sù
......
Artinya
: Hendaklah kamu ambil (ikuti) apa yang dibawa oleh Rasul kepadamu dan
hendaklah kamu jauhi sesuatu yang dilarang. (Q.S. Al-Hisyr : 7)
Sunnah
nabi menjadi hujjah kedua dalam menetapkan hukum syara’. Hadis itu ada yang
mutawatir, sahih, hasan, dan dhaif. Yang dapat menjadi hujjah adalah hadis
mutawatir, sahih, dan hasan atau hadis lain yang dibantu oleh hadis tersebut,
sedangkan hadis dhaif tidak dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum-hukum
syara’.
3. Fungsi dan
hubungan Hadis dengan Al-Qur’an
Adapun
fungsi dan hubungan Hadis dengan Al-Qur’an adalah :
a. As-Sunah
berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur’an. Dengan
demikian, hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat dua dalil, yaitu
yang terdapat di dalam AL-Qur’an dan penguat dari As-Sunah
b. As-Sunah
berfungsi sebagai penafsir atau perinci hal-hal yang disebut secara mujmal di
dalam Al-Qur’an. Dengan kata lain As-Sunah memberi penjelasan makna yang
dimaksud ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur’an.
c. As-Sunah
berfungsi menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an
atau berfungsi untuk menetapkan hukum
yang tidak disebutkan di dalam nash Al-Qur’an.
C. Ijma’
1. Pengertian
Ijma’
Menurut
bahasa, Ijma’ mempunyai dua arti, yaitu berikut ini :
a. Kesepakatan,
b. Kebulatan tekad
dan niat.
Menurut
istilah ahli ushul, Ijma’ yaitu :
Kesepakatan
seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah SAW, akan
suatu hukum syariat yang amali.
2. Rukun dan
syarat Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqih
mengemukakan lima rukun dan syarat ijma’ berikut ini :
a. Yang terlibat
dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid.
Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil,
hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum Ijma’.
b. Mujtahid yang
terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang tidak ada pada
masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c. Kesepakatan itu
diawali setelah tiap-tiap mujtahid mengemukakan pandangannya.
d. Hukum yang
disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya
secara rinci dalam Al-Qur’an.
e. Sandaran hukum
Ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan atau hadis Rasulullah SAW.
3. Macam-macam
Ijma’
Dilihat dari segi cara melakukan
Ijma’, ada dua macam Ijma’ :
a. Ijma’ Sarih,
yaitu kesepakatan para mujtahid di suatu ketika terhadap hukum suatu kejadian
atau peristiwa dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang
dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan. Dengan kata lain,
setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara jelas
b. Ijma’ Sukuti,
ialah sebagian mujtahid menyajikan pendapatnya secara jelas terhadap suatu
kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan,
sedangkan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal
persesuaiannya atau perbedaannya.
D. Qiyas
1. Pengertian
Qiyas
Qiyas artinya perbandingan, yaitu
membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illat-nya. Menurut
istilah agama, qiyas adalah (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang
belum mempunyai ketetapan pada hukum yang telah ada/telah ditetapkan oleh Kitab
dan Sunah karena adanya kesamaan, illat antara keduanya (asal dan furu’).
2. Hukum Qiyas
a. Allah
mensyariatkan hukum hanyalah untuk kemaslahatan hambalah yang menjadi tujuan
akhir dari penetapan sesuatu hukum. Pada peristiwa yang tidak disebutkan nash,
hikmah dan keadilan menuntut persamaan hukum dalam mewujudkan maslahat yang
menjadi tujuan hukum.
b. Nash-nash Al-Qur’an
dan As-Sunah terbatas dan terhingga, sedangkan peristiwa yang dihadapi manusia
dan kebutuhannya tiada terbatas dan terhingga.
Maka nash-nash yang terbatas itu saja tidaklah mungkin menjadi sumber
dari sesuatu yang tak terbatas. Qiyaslah yang menjadi sumber tasyri’ yang
berjalan seiring dengan peristiwa kejadian yang baru tumbuh dan mangungkapkan
hukum syara’ terhadap peristiwa yang baru serta menyetarakan antara tasyri’ dan
maslahat.
c. Qiyas adalah
dalil yang didukung oleh jiwa yang sehat dan pikiran yang benar yang dijadikan
oleh para pemikir dalam merumuskan hukum-hukumnya. Contohnya, pelarangan
meminum minuman karena beracun diqiyaskan dengan segala sesuatu yang mengandung
racun.
3. Macam-macam
Qiyas
a. Dilihat dari
segi kekuatan illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan dengan yang terdapat
pada asl. Dari segi qiyas dibagi kepada tiga bentuk yaitu :
1. Qiyas Al
Aulawi, yaitu qiyas
yang hukumnya pada furu’ lebih kuat dari hukum asl, karena illat
yang terdapat pada furu’ lebih kuat dari yang ada pada asl. Misalnya,
mengqiyaskan memukul pada ucapan “ah”.
2. Qiyas
Al-Musawi, yaitu
hukum pada furu’ sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada asl, karena
kualitas illat pada keduanya juga sama. Misalnya, Allah berfirman dalam surat
An-Nisa’ ayat 2 :
(#qè?#uäur
#yJ»tFuø9$#
öNæhs9ºuqøBr&
( wur
(#qä9£t7oKs?
y]Î7sø:$#
É=Íh©Ü9$$Î/
( wur
(#þqè=ä.ù's?
öNçlm;ºuqøBr&
#n<Î)
öNä3Ï9ºuqøBr&
4 ¼çm¯RÎ)
tb%x.
$\/qãm
#ZÎ6x.
ÇËÈ
Artinya
: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan
kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka
bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu,
adalah dosa yang besar. (Q.S. An-Nisa’ : 2)
3. Qiyas
Al-Adna, yaitu
illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan illat yang ada
pada asl. Misalnya, menqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya
riba.
b. Dari segi
kejelasan Illat yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi atas dua macam :
1. Qiyas
Al-Jaliy, yaitu
qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan Hukm Al-Asl, atau
nash tidak menetapkan illat-nya. Tetapi dipastikan tidak berpengaruh perbedaan
antara asl dan furu’.
2. Qiyas
Al-Khafiy, yaitu
qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash.
c. Dilihat dari
keserasian illat dengan hukum, qiyas terbagi menjadi :
1. Qiyas
Al-Muatstsir, yaitu
qiyas yang menjadi penghubung antara asl dan furu’ yang ditetapkan melalui nash
sarih atau Ijma’, atau qiyas yang ‘ain sifat yang
menghubungkan asl dengan furu’ sehingga berpengaruh pada hukum itu sndiri.
2. Qiyas Al-Mula’im, yaitu qiyas yang illat hukum
aslnya mempunyai hubungan yang serasi.
d. Dilihat dari
segi dijelaskan atau tidaknya illat pada
qiyas tersebut.
1. Qiyas
Al-Ma’na, yaitu
qiyas yang di dalamnya tidak dijelaskan illatnya, tetapi antara asl dengan
furu’ tidak dapat dibedakan.
2. Qiyas
Al-Illat,yaitu
qiyas yang dijelaskan illatnya yang merupakan motivasi bagi hukum asl.
3. Qiyas
Al-Dalalah, yaitu
qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri.
e. Dilihat dari
metode dalam menemukan illat :
1. Qiyas Al-Ikhalah, yaitu yang illatnya ditetapkan
melalui munasabah dan ikbalah.
2. Qiyas
Asy-Syabah, yaitu
yang illatnya ditetapkan melalui metode syabah.
3. Qiyas
As-Sibru, yaitu
yang illatnya ditetapkan melalui metode As-Sibr wa Al-Taqsim
4. Qiyas
Ath-Thard, yaitu
yang illatnya ditetapkan melalui metode tard.
4. Rukun dan
syarat Qiyas
a. Rukun Qiyas
Para
ulama ushul fiqih menetapkan bahwa rukun Qiyas terdiri dari Empat macam yaitu: Asl
(wadah hukum yang ditetapkan melalui nash dan ijma’), Far’u (Kasus
yang akan ditetentukan hukumnya), Illat (Motivasi hukum), dan Hukm
Al-Asl ( Hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
b. Syarat-syarat
Qiyas
1. Syarat Hukum
Asal
a. Hukum asal
hendaknya ditetapkan oleh Al-Qur’an
b. Hukum asal itu
hendaknya dapat diselami akal
c. Hukum asal
hendaknya bukan merupakan hukum khusus
2. Syarat-syarat
Fur’u
a. Tidak ada nash
dan ijma’ yang menetapkan hukum furu’ sebab apabila terdapat nash dan ijma’
yang bertentangan dengan qiyas.
b. Antara furu’
dan asl harus sama illat hukumnya sehingga tidak menqiyaskan sesuatu dengan yang
berbeda.
Bagian 3
AL QURAN SEBAGAI
SUMBER HUKUM ISLAM
A.
Kehujjahan alquran
Abdul Wahab Khallaf (Mardias Gufron,
2009) mengatakan bahwa “kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan
kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya”. Hal ini
sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
ذَالِكَ الْكِتَابُ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًىلِّلْمُتَّقِيْنَ
Artinya: “Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa” (Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).
Berdasarkan ayat di atas yang
menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, maka
seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan
Allah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa hidupnya.
M. Quraish Shihab (Mardias Gufron,
2009) menjelaskan bahwa “seluruh Al-Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti
kebenaran Nabi SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai
petunjuk bagi seluruh ummat manusia”.
1. Dasar-Dasar
Al-Qur’an dalam Membuat Hukum
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an untuk
dijadikan dasar hukum yang disampaikan kepada ummat manusia agar mereka
mengamalkan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Pedoman
Al-Qur’an dalam mengadakan perintah dan larangan-Nya adalah tidak memberatkan
dan diturunkan secara berangsur-angsur.
2. Al-Qur’an
Tidak Memberatkan
Al-qur’an diturunkan tidak untuk
memberatkan ummat manusia, sebagaimana firman-Nya:
يُرِيْدُاللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَوَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya:
“Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan
tidak menghendaki kesempitan bagimu” (Q.S. Al-Baqarah, 2:185).
3. Al-Qur’an
Turun Secara Berangsur-Angsur
Al-Qur’an diturunkan secara
berangsur-angsur selama 23 tahun, yaitu 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di
Madinah. Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain:
- Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan.
- Turunnya Al-Qur’an berdasarkan suatu kejadian tertentu akan lebih mengesankan dan berpengaruh di hati.
- Memudahkan dalam menghafal dan memahaminya.
B.
AZBABUN NUZUL
Asbabun
Nuzul
didefinisikan “sebagai suatu hal yang karenanya al-qur’an diturunkan untuk
menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa
maupun pertanyaan”, asbabun nuzul membahas kasus-kasus yang menjadi turunnya
beberapa ayat al-qur’an,
Untuk
menafsirkan qur’an ilmu asbabun nuzul sangat diperlukan sekali, sehingga ada
pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan dalam bidang ini, yaitu yang
terkenal diantaranya ialah Ali bin madani, guru bukhari, al-wahidi , al-ja’bar
, yang meringkaskan kitab al-wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa
menambahkan sesuatu, syikhul islam ibn hajar yang mengarang satu kitab mengenai
asbabun nuzul.
Pedoman
dasar para ulama’ dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang
berasal dari rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pembaritahuan seorang
sahabat mengenai asbabun nuzul, al-wahidi mengatakan: “ tidak halal berpendapat
mengenai asbabun nuzul kitab, kecuali dengan berdasarkan pada riwayat
atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya. Mengetahui
sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertian secara bersungguh-sungguh dalam
mencarinya ”.
Para ulama’
salaf terdahulu untuk mengemukakan sesuatu mengenai asbabun nuzul mereka amat
berhati-hati, tanpa memiliki pengetahuan yang jelas mereka tidak berani untuk
menafsirkan suatu ayat yang telah diturunkan. Muhammad bin sirin mengatakan:
ketika aku tanyakan kepada ‘ubaidah mengetahui satu ayat qur’an, dijawab:
bertaqwalah kapada allah dan berkatalah yang benar.
Orang-orang
yang mengetahui mengenai apa qur’an itu diturunkan telah meninggal. Maksudnya:
para sahabat, apabila seorang ulama semacam ibn sirin, yang termasuk tokoh
tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan
kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan bahwa seseorang harus
mengetahui benar-benar asbabun nuzul.
Oleh
sebab itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat
ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti
menunjukkan asbabun nuzul.
Al-wahidi
telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun
nuzul, bahkan dia (Al-wahidi ) menuduh mereka pendusta dan mengingatkan
mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan: “ sekarang, setiap orang suka
mangada-ada dan berbuat dusta; ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan,
tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya
ayat”.
1.
Macam-Macam Asbabun Nuzul
Dari segi
jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul dapat dibagi kepada ta’addud
al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan
yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu ) dan ta’addud
al-nazil wa al-sabab wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau
kelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu ). sebab
turun ayat disebut ta’addud karena wahid atau tunggal bila riwayatnya hanya satu,
sebaliknya apabila satu ayat atau sekelompok ayat yang turun disebut ta’addud
al-nazil.
Jika
ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat-ayat dan
masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang
disebutkan lawannya, maka riwayat ini harus diteliti dan dianalisis,
permasalahannya ada empat bentuk: Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan
lainnya tidak. Kedua, keduanya shahih akan tetapi salah satunya mempunyai
penguat ( Murajjih ) dan lainnya tidak. Ketiga, keduanya shahih dan keduanya
sama-sama tidak mempunyai penguat ( Murajjih ). Akan tetapi, keduanya dapat
diambil sekaligus. Keempat, keduanya shahih, tidak mempunyai penguat ( Murajjih
) dan tidak mungkin mengambil keduanya sekaligus.
2.
Pengetahuan Tentang Asbabun Nuzul
Perlunya
mengetahui asbabun nuzul, al-wahidi berkata:” tidak mungkin kita mengetahui
penafsiran ayat al-qur’an tanpa mangetahui kisahnya dan sebab turunnya ayat
adalah jalan yang kuat dalam memahami makna al-qur’an”. Ibnu taimiyah berkata:
mengetahui sebab turun ayat membantu untuk memahami ayat al-qur’an. Sebab
pengetahuan tentang “sebab” akan membawa kepada pengetahuan tentang yang
disebabkan (akibat).
Namum
sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua al-qur’an harus mempunyai
sebab turun, ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus
diketahui sehingga, tanpa mengetahuinya ayat tersebut bisa dipahami, ahmad adil
kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat al-qur’an melalui tiga cara:
- Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi.
- Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.
- Ketiga ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua kelmpok;
- Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui ( hukum ) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
- Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-qur’an).
Kebanyakan
ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang khusus, namun ini tidak benar bahwa
semua ayat-ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya, bagaimanpun
sebagian kisah al-qur’an tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab
turunnya.
3.
Faedah Asbabun Nuzul
- Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui al-qur’an.
- Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.
- Dapat menolak dugaan adanya Hasr ( pembatasan ).
- Dapat mengkhususkan (Takhsis) hokum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
- Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hokum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya ( yang mengkhususkannya ).
- Diketahui ayat tertetu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah.
- Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.
Bagian 4
Sunnah sebagai sumber dan dalil hukum islam
A.
Pengertian Sunnah
Sunnah menurut bahasa: ialah jalan yang dilalui sama ada terpuji atau
tidak; juga suatu adat yang telah dibiasakan walaupun tidak baik. RasulSAW
bersabda:
"Sungguh kamu akan mengikuti
sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelum kamu sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga sekiranya mereka memasuki lubang dab
(serupa binatang biawak) niscaya kamu memasukinya juga." (Hadith riwayat
Muslim)
"Barangsiapa menjalani suatu
sunnah (perjalanan) yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala yang
mengerjakan dengannya hingga hari qiamat, dan barangsiapa mengadakan suatu
sunnah (perjalanan) yang jahat (buruk) maka atasnya dosanya dan dosa orang yang
mengerjakan dengannya hingga hari qiamat." (Hadith riwayat Bukhari &
Muslim)
Jelaslah bahwa menurut hadith tersebut, perkataan sunnah itu diertikan dengan
perjalanan, sama ada baik atau pun yang jahat, sebagaimana yang dimaksudkan
oleh bahasa.
Sunnah menurut istilah ahli hadith: ialah segala yang dipindahkan dari nabi
sallallahu 'alayhi wa sallam baik yang merupakan perkataan, perbuatan, mahupun
yang merupakan taqrir, sebelum nabi dibangkitkan menjadi rasul, mahupun
sesudahnya. Kebanyakan ahli hadith menetapkan bahawa
pengertian yang demikian sama dengan pengertian hadith.
Sunnah menurut pengertian dan istilah ahli usul: ialah
segala yang dipindahkan dari nabi sallallahu 'alayhi
wa sallam sama ada perkataannya dan perbuatannya, mahupun taqrirnya yang
bersangkutan dengan hukum.
Inilah pengertian yang dimaksudkan oleh sabdanya ini:
"Sesungguhnya
aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara tidak akan kamu sesat selama kamu berpegang dengan
keduanya: iaitu Kitab Allah dan Sunnah
Rasulnya". (Hadith riwayat Malik)
1.
Contoh sunnah (hadith) perkataan ialah:
"Segala 'amal
itu dengan niat." [Riwayat Bukhari, Muslim dan sekelian ulama' hadith]
2.
Contoh sunnah (hadith) perbuatan ialah:
"Bersembahyanglah
kamu sebagaimana kamu melihat aku bersembahyang." [Riwayat Bukhari dan
Muslim]
3.
Contoh hadith (sunnah) taqrir. Taqrir ialah: (a) Nabi
SAW membenarkan apa yang diperbuat oleh seorang sahabat dengan tidak mencegah
atau menyalahkan serta menunjukkan keredaannya; (b) menerangkan kebagusan yang
diperbuat itu serta dikuatkan pula.
Contoh
yang pertama ialah sebagaimana Nabi saw membenarkan ijtihad para sahabat
mengenai urusan sembahyang 'Asar di Bani Quraizah dengan sabdanya:
"Jangan
bersembahyang seorang kamu melainkan di Bani Quraizah." [Riwayat Bukhari]
Sebahagian sahabat memahamkan perkataan itu menurut
hakikat larangannya lalu menta'khirkan sembahyang 'Asar itu
sampai selepas Maghrib. Dan ada sebahagian yang lain tidak memahamkan demikian,
mereka memahamkan bahawa yang dimaksudkan nabi bercepat-cepat pergi ke Bani
Quraizah. Kerana itu mereka mengerjakan sembahyang 'Asar pada waktunya, sebelum
tiba ke Bani Quraizah.
Kedua-dua perbuatan sahabat yang berlainan oleh
berlainan ijtihad sampai kepada Nabi saw beritanya, dan Nabi saw tinggal
berdiam diri tidak membantah apa-apa.
Contoh yang kedua
sebagaimana yang diriwayatkan bahawa Khalid bin Walid pernah memakan dab (serupa binatang biawak) kemudian
dikemukakan orang kepada Nabi saw. Nabi saw sendiri enggan
memakannya, maka bertanya sebahagian sahabat:
"Adakah
diharamkan makannya ya Rasulullah? Lalu ia bersabda: Tidak! Cuma binatang itu
tidak ada di negeri kaumku, kerana itu aku tidak gemar kepadanya."
Selanjutnya
pernah juga dinamakan sunnah itu suatu yang ditunjuki oleh dalil syara', baik berdasarkan dalil
Qur'an atau pun berdasarkan hadith, mahu
pun berdasarkan ijtihad para sahabat, seperti mengumpulkan mashaf (Qur'an) dan menyuruh manusia membaca
menurut suhuf 'Uthman, dan seperti membukukan
ilmu (menyusun dan mengarangnya).
Lawan
dari sunnah ini ialah bid'ah, inilah yang dimaksudkan oleh hadith:
"Berpeganglah
kamu sungguh-sungguh dengan sunnahku dan sunnah khalifah-khalifah yang mendapat
pertunjuk sesudahku." [Abu Daud & Tarmizi]
Sementara
itu ulama' fiqh berpendapat, bahawa suatu yang diterima dari Nabi saw dengan
tidak difardukan dan tidak diwajibkan dinamakan sunnah. Imbangannya ialah
wajib, haram, makruh dan mubah. Lawannya ialah bid'ah; talak yang dijatuhkan
dalam haid menurut mereka dinamakan: talak bid'ah.
Ulama'
Syafi'e mengatakan bahawa sunnah itu: ialah suatu yang dipahalai orang yang mengerjakannya, tidak disiksai
orang yang meninggalkannya.
Menurut
ulama' mazhab Hanafi, sunnah itu: ialah suatu yang disunnahkan Nabi saw atau para khalifah serta
dikekalkan mengerjakannya, seperti azan
dan berjama'ah
Pendapat yang benar bahwa yang dimaksud dengan Sunnah secara bahasa
adalah thariqah atau metode, kebiasaan, perjalanan hidup atau perilaku
baik jalan yang baik atau buruk, diantara dalilnya yaitu sabda Nabi
Shalallahu’alaihi wassalam : “Barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam
sunnah yang baik, maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya.
Barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang
jelek, maka atasnya dosa dan dosa orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim)
As-Sunnah menurut istilah
syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu alaihi
wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir
(penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai
tasyri (pensyariatan) bagi ummat Islam.
secara
bahasa berarti 'cara yang dibiasakan' atau 'cara yang terpuji'. Sunnahlebih
umum disebut hadis, yang berarti: = dekat, = baru, = berita.Secara istilah
menurut ulama ushul fiqh:
“Semua yang bersumber dari Nabi saw. selain Alquran
baik berupa perkataan,perbuatan atau persetujuan.”
2. Kehujjahan Sunnah
Dalil-dalil yang menetapkan Sunnah dapat jadi hujjah sebagai sumber hukum:
a.
Dalil Alquran, misalnya dalam Ali Imran: 32:
b.
Dalil Al-Sunnah, di antaranya :
c.
Ijma Shahabat. Setelah wafatnya Rasulullah saw, para sahabat jika
mendapatkan satupermasalahan, mereka mencarinya dari Alquran, dan jika tidak
mendapatkan dariAlquran, mereka bertanya kepada sahabat lain mungkin di antara
mereka ada yang hafaldan ingat. Kemudian hal
tersebut dijadikan ketetapan hukum sesuai yang disampaikansahabat kepadanya.
Hal ini dilakukan oleh Abu Bakar, juga Umar bin Khatab dan parasahabat lain
serta para Tabi'in. Tidak ada seorang pun dari antara mereka yang
menolak dan mengingkari bahwa sunnah Rasulullah wajib diikuti.
d.
Logika. Alquran memerintahkan kepada manusia beberapa kewajiban, pada
umumnyabersipat global, tidak terperinci baik caranya maupun syarat-syaratnya.
Hal ini perlupada penjelasan sehingga tidak salah dalam melaksanakannya, maka
kehadiran sunnahmerupakan penjelas terhadap kemujmalan Alquran.
3. Kedudukan Al-Sunnah terhadap Alquran
a.
Sebagai Muaqqid. Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah
ditetapkanAlquran, dikuatkan dan dipertegas lagi oleh Al-Sunnah.
b.
Sebagai Bayan. Yaitu al-Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat Alqur,an yang
belumjelas, dalam hal ini ada tiga hal :1) Memberikan perincian terhadap
ayat-ayat Alquran yang masih mujmal, misalnyaperintah shalat dalam Alquran yang
mujmal, diperjelas dengan Sunnah. 2) Membatasi kemutlakan (taqyid al-muthlaq).
Misalnya, Alquran memerintahkanberwasiat, dengan tidak dibatasi berapa
jumlahnya. Lalu Al-Sunnah membatasinya.3) Mentakhshishkan keumuman. Misalnya,
Alquran mengharamkan tentang bangkai,darah dan daging babi, kemudian al-Sunnah
mengkhususkan dengan memberikanpengecualian kepada bangkai ikan laut, belalang,
hati dan limpa.4) Menciptakan hukum baru. Misalnya, Rasulullah melarang untuk
binatang buas danyang bertaring kuat, dan burung yang berkuku kuat, dimana hal
ini tidak disebutkandalam Alquran.
4. Macam-macam Sunnah
a.
Sunnah Qauliyah. Sunnah Qauliyah ini sering juga
dinamakan khabar, atau berita berupa perkataan Nabisaw. yang didengar atau
disampaikan oleh seorang atau beberapa orang sahabat kepadayang lain.Sunnah
Qauliyah dapat dibedakan kepada tiga hal :1) Diyakini benarnya,
seperti khabar yang datang dari Allah dan dari Rasulullahdiriwayatkan oleh
orang yang dipercaya dan khabar mutawatir. 2) Diyaniki
dustanya, seperti dua berita yang berlawanan dan berita yang
menyalahiketentuan-ketentuan syara. 3) Yang tidak diyakini benarnya, dan juga
tidak diyakini dustanya, hal ini ada tiga: a) Tidak kuat benarnya dan tidak
kuat pula dustanya.b) Khabar yang lebih dikuatkan benarnya daripada dustanya.c)
Khabar yang lebih dikuatkan dustanya daripada benarnya.
b.
Sunnah Fi'liyah Yaitu setiap perbuatan yang dilakukan Nabi saw. yang
diketahui dan disampaikan oleh sahabat kepada orang lain. Sunnah fi'liyah
terbagi kepada beberapa bentuk, ada yang harusdiikuti oleh umatnya, dan ada
yang tidak harus diikuti, yaitu: 1) Gharizah atau Nafsu yang terkendalikan oleh
keinginan dan gerakan kemanusiaan. Sunnah fi'liyah ini menunjukkan tidak ada
kewajiban untuk diikuti (bersifat mubah). 2) Sesuatu yang tidak berhubungan
dengan Ibadah, yang oleh sebagian ahli ushul disebut al-Jibilah. Ini lebih pada
urusan keduniaan, budaya dan kebiasaan Padabagian ini tidak ada perintah untuk
diikuti dan diperhatikan. Jumhur ulamamemandangnya kepada jenis Mubah. 3) Perangai yang membawa kepada syara' menurut kebiasaan yang baik dan
tertentu. Ini lebih dari sekedar urusan jibilah, tapi sebawah dari urusan
al-qurbah / ibadah. 4) Sesuatu yang bersifat khusus bagi Nabi saw. dan tidak
boleh diikuti oleh umatnya. Adapun urusan al-Qurbah ibadah yang bersifat umum
tidak hanya bagi Nabi saw,itu harus diikuti oleh orang muslim. 5) Apa yang
dilakukan Nabi saw. berupa penjelasan terhadap sesuatu yang
bersifatmujmal/samar tidak jelas. Maka hukumnya sama dengan hukum mujmal
tersebut. 6) Apa yang dilakukan Nabi saw. menjelaskan akan kebolehan
/ jawaz.
c.
Sunnah Taqririyah Yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di
hadapan Nabi saw. atausepengetahuan Nabi, namun Nabi diam dan tidak
mencegahnya, maka sikap diam dan tidak mencegahnya, menunjukan persetujuan
Nabi. Hal ini karena kalau Nabi tidak setuju, tentuNabi tidak akan membiarkan
sahabatnya berbuat atau mengatakan yang salah, karena Nabi itu Ma'sum (terjaga
dari berbuan dan menyetujuan sahabat berbuat kemunkaran, karenamembiarkan dan
menyetujuan atas kemunkaran sama dengan berbuat kemunkaran
Bagian 5
Ijmak sebagai
dalil
hukum islam
A. Pengertian Ijma
Secara
etimologi , ijma ( ) mengandung
dua arti:
1.
Ijma’dengan arti atau ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu, ijma’ dalam artian pengmabilan eputusan
itu dilihat dalam firman allah pada surat YUNUS (10):71:
Karena itu bukanlah keputusanmu dan
(kumpulkanlah)sekutu – sekkutumu (untuk membinasakanku)….
Juga dapat dilihat dalam hadist Nabi
yang berbunyi
Juga
dapat dilihat dalam hadis nabi yang berbunyi:
Tidak
ada puasa bagi orang yang tadak meniatkan puasa semenjak malam
2.
Ijma’dengan arti “sepakat”.ijma’dalam
arti inidapat dilihat dalam qur’an surat YUSUF (12):15:
Maka tatkala mererka membawanya dan
sepakat memasukanya kedasar sumur
Pengertian
ijma’ secara terminology yaitu kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada
sesuatu masa atas seseuatu hukum syara’
Penjelasan
ta’arif ijma :
- Kebullatan dapat terwujud, apabila pendapat seseorangf sama dengan pendapat orang – orang lainya.
- Apabila ada yang tiadak menyetujui maka tidak ada ijma’ , karena dengan demikian kebulatan pendapat yang sebenarnya tidak ada .hanya pendapat golongan terbanyak bisa menjadi hujjah .
- Klaau pada sesuatu masa hanya terda[at seorang ahli ijthad, maka tidak ada ijma’, pendapat perseorangan tidak jauh dari kemungkinan salah.
- Kebulatan penadapat harus tampak nyata. Apakah denegann diam saja, terdsapat kebulatan? (soala ini akan dibicrakan dibelakang).
- Kebulatan pendapat orang – orang biasa tidak disebut ijma’.di persamakan denagn hokum – hukum syara’.seperti ahli teknik, ahli filsafat dan lain –lain.
- Kebulatan penda[pat segolongan umat tiadak disebut ijma’. Yang dibicarakan disinilah, ialah ijma seluruh umat (ijma’ummah).
Macam-
macam ijma .’
Ijma’
umat tersebut dibagi dua :
Macam- macam ijma .’
Ijma’
umat tersebut dibagi dua :
1.
Ijma Qauli : Yaitu suatu ijma,’ dimana para ahlli ijtihad mengeluarkan
pendapatnya baik lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuanya atas
pendapat mujtahid lain dimasanya.ijma’ inijuga disebut ijma’ qat’i.
2.ijma’sukuti
: yaitu ijma.’diman para ahli ijtihad
diam , tiidak mengatakan pendapatnya.diam disini dianggap menyetujui.
Menurut golongan hanafiyah kedua macam ijma’ tersebut
adalah ijma’uang sebenarnya. Menurut imam Syafi’I hanya ijma’yang pertama saja
yang disebut ijma’yang sebenarnya.
Dismping ijma’ umat tersebiut, masih ada macam – macam ijma’ yang
lain, yaitu:
1; ijma’ sahabat .
2. ijma’Khalifah yang empat.
3. ijma ‘ abu Bakar dan
umar.
4.ijma’ ulama Madinah
5. ijma’ ulama Kufah dan
basrah.
6. ijma’itrah (ahli bait
= golongan Syiah)
SANDARAN IJMA’
Ijma’tidak
dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran sebabijam’bukan merupakan dalil
yang berdiri sendiri, Fatwa dalam urusan aga tanpa ada sandaran adalah
salah.Sandaran tersebut adakalanya berupa dalil zhani yaitu hadist mutawir, ada
kalanya ijma’itu hadis ahad, maka hadis ahad ini bertamabh kekuatanya atau nilainya .
Tentang qiyas masih mejadi perselisihan.apakah
bia menjadi sandaran ijma’atau tidak
Alas
an yang membolehkan :
1. Qiyas
adalah salah satu jalan menetapkan hukum syara’. Karena itu, qiyas dapat dijadikan sandaran
ijam’sebagimana dalil – dalil yang lain.
2. Terjadi ijma’atas haramnya lemak babi karena
diqiyaskan dengan dagingya
3. Terjadi
ijma’atas ke- khilafahan Abu Bakar karena diqiyaskan dengan keimananya dalam
shalat (dijadikan imam shalat oelh nabi).
Alasan yang tidak
membolehkan :
1. Kalau
terjadi ijma’berdasarkan Qiyas, tentullah seseorang mujtahid dapat
menyanggahnya, sebab qiyas bisa disanggah. Menyanggah pokok, yaitu qiyas
berarti pula menyanggah cabangya, yaitu ijma’.
2. Para ulama tidak sepakat
pendapatnya tentang kehujahan ijam’.
Seseorang yang tidak mengakui kehujaahn qiyas, tidak akan mengakui kehujahan
ijma’.
KEHUJJAHAN IJMA’.
Apabila sudah terjadi ijma’. Maka ijma’itu menjadi hujjah yang qat’I.
kebulatan penadapat segala mujtahid atas sesuatu hukum yang tertentu, meskipun
berbeda lingkungan dan aliranya tanpa diragukan lagi menunjukan adanya satu
kebenaran yang telah membwa ke bulatan pendapat mereka. Kebenaran tersebut
ialah kerna cocoknya hukum itu dengan jwa syari’at dan dasar – dasarnya yang umum.
Kehujjahan ijma’ tersebut ditunjjkan oleh qur’an dan
hadis.
Qur’an.
…wahai orang
mukmin patuhlah kepada alllah, patuhlah kepada rasul , dan patuhlah kepada
orang – orang yang memerintahkan diantara kamu ‘’.(an Nisa 59).
Sudah disepakati, yang dimaksud dengan ULIL’ amalri,ialah
para ulama.masing – masing bertuga dalam lapangnya sendiri – sendri.
,,umatku
tidak bersepakat atas kesatuan ‘’.(hadis riwayat abu daud dan tarmidzi)
Kehujjahan Ijma’
Apabila
rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh
permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin
walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui
hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya
dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun
individu.
Selanjutnya
mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati
menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya.
Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah
disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’
dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).[15]
Bagian 6
qiyas sebagai
dalil
hukum islam
A.
Pengertian
qiyas
Qiyas
merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara’ dalam hal-hal
yang nash Al-Qur’an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas
Pada
dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra’yu yaitu: penggunaan ra’yu yang masih
merujuk pada nash dan panggunaan ra’yu secara bebas tanpa mengaitkannya pada
nash.
Dasar
pemikiran qiyas itu ialah ada kaitan yang erat antara hukum dengan sebab hamper
dalam setiap hukum di luar bidang ibadat, dapat di ketahui alasan rasional
ditetapkannya hukum itu oleh Allah. Alasan hukum yang rasional itu oleh ulama
disebut ”illat”.
Pengertian qiyas menurut beberapa
ulama
- Al-ghazali dalam al-mustashfa memberi defenisi qiyas:
menaggungkan
sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang di ketahui dalam hal menetapkan
hukum pada keduanyaatau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan adahal yang
sama antara keduanya, dalam meneyapkan hukum atau peniadaan hukum.
- Qadhi abu baker mendefenisikan yang mirip dengan defenisi di atas:
Menanggunglkan
sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang di ketahui dalam Hal menetapkan
hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya di sebabkan ada hal
yang sama antara keduanya.
- Abu hasan al-bashri memberi defenisi:
Menghasilkan
(menetapkan) hukum ashal pada “furu” karena keduanya sama dalam ‘illat hukum
menurut mujtahid.
- Abu hasan al-bashri memberi defenisi:
Menghasilkan
(menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dalam illat hukum
menurut mujtahit.
- Al-baidhawi mendefenisikan qiyas dengan:
Menetapkan
semisal hukum yang di ketahui pada sesuatu yang lain yang di ketahui, karena
keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan.
- defenisi qiyas menurut shadru al-syari’ah:
merentangkan
(menjangkaukan) hukum dari “ashal” kepada “furu” karena ada kesatuan ‘illat
yang tidak mungkun di kenal dengan pemahaman lughawi semata.
Qiyas
menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al
Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah
menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash
hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.[16]
Dengan demikian qiyas itu
penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip
persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum
khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram.
Sebagaimana firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang
beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
Haramnya meminum khamr
berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di
dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah
haram.[17]
B.
Kehujjahan
qiyas
Jumhur
ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk
sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat
hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian
ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah
hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.[19]
Diantara
ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang
mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka
pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan
mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari
arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam
hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri
dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
Dari ayat di atas
bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’,
kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada
yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok
kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan
ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki
pengertian melewati dan melampaui.[20]
“Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi
dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’
(dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki
tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan
Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan
qiyas.[21]
Sementara
diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal,
yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah
Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas
merupakan salah satu macam ijtihad.[22]
Sedangkan dalil yang
ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering
kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun
yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan
bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu
Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya
katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar
maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’
adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan
qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan)
tidak memiliki bapak dan anak.[23]
Dalil yang keempat adalah
dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain
adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud
dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits
jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak
terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang
menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang
tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang
kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya
sesuai dengan syariat dan maslahah.[24]
Para ulama
tidak sama pendapatnya tentang kebolehan memegangi qiyas dalam hukum-hukum
syari’at (qiyas syari’). Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat
pertama:
Kebanyakan
sahabat tabi’in dan fuqaha mengatakan, bahwa qiyas menjadi pegangan (hujjah).
Alasan mereka iyalah dari Al-Qur’an dan hadits dan dalil akal pikiran.
1. Dalil
Qur’an
“maka
ambillah i’tibar (pelajaran) wahai orang-orang yang mempunyai pemandangan “.
(An hasyr 2).
I’tibar
di ambil dari perkataan ubuur, yang artinya melewati (melampaui).
2. Dalil
hadits
“ketika
mu‘az diutus nabi keyaman, maka nabi bertanya kepadanya: “dengan apa kamu
memutusi perkara yang dating padamu?”berkata mu’az: saya memutusi dengan
kitabullah(Qur’an). Berkata nabi kalau tidak kamu jumpai dalam kitabullah?.
Berkata mu’az: dengan sunnah rasul (hadits). Berkata nabi: kalau tidak kamu
dapati baik dalam kitabullah maupun sunnah rasul?. Mu’az menjawab saya akan
berijtihad (berusaha) dengan akal fikiran saya. Maka rasulullah menepuk dada
(karena girang) sambil berkata: “alhamdulillah, tuhan telah memberi petunjuk
utusan rasul tuhan kepada apa yang di ridhai rasulullah”. (riwayat ahmad, abu
daut, tarmidzi, dan lain-lain dari hadits mu’az).
Para ulama mengatakan, bahwa
qiyas termasuk usaha dengan akal fikiran dan karenanya termasuk dalam hadits
tersebut.
3. Dalil
akal
Nash-nash
Qur’an demikian pula hadits nabi baik perkataannya, perbuatannya maupun
taqrirnya, tidak cukup untuk memghadapi setiap peristiwa hukum, karena
nash-nash Qur’an dan hadits terbatas, sedang peristiwa yang terjadi tiada
habis-habisnya. Sudah barang tentu apa yang terbatas tidak mungkin bias
menghadapi apa yang tidak terbatas.
Pendapat
kedua:
Daud dan ibnu hazm, kedua-duanya dari golongan
zhahiriyah, mengatakan: “qiyas tidak menjadi hujjah”. Menurut pendapatnya,
semua peristiwa sudah ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadits baik yang
lansung di tujukan nash kat-katanya atau tidak, seperti isyarat nash (hukum
yang tersirat) atau penunjukan nash (dalam nash fakhwa al-khitab), karena itu,
kita tidak memerlikan qiyas.
Berhubung
qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan
ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1.
Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar
hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits,
pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2.
Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama
sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat
nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap
alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan
illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3.
Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang
berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah
tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil
Al Qur’an dan hadits.[18]
C.
Syarast-syarat
qiyas
a. Maqis’alaih(tempat
meng-qiyas-kan sesuatu kepadanya)
Dalam
memberikan nama dalam maqis alaih itu tedapat beberapa pendapat. Ada yang menamakannya
ashal (sesuatu yang di hubungkan kepadanya sesuatu yang lain). Ada yang menggunakan
istilah (wadah/tempat yang pada wadah-wadah itu terdapat hukum yang akan
disamakan kepada wadah lain).
b. maqis
(sesuatu yang akan di samakan hukumnya dengan ashal)
Untuk
maqia ini kebanyakan ulama menggunakan kata “furu” (sesuatu yang di bangun atau
hubungkan kepada sesuatu yang lain). Ada
yang mengatakan maqis adalah (wadah yang hukumnya diserupakan dengan yang
lain). Ada yang
pula menyebutnya (hukum dari wadah yang di samakan).
c. Hukum
ashal
Hukum
ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis ‘alaih yang di
tetapakan hukumnya berdasarkan nash; dan hukum itu pula yang akan diberlakukan
pada furu’.
Syarat
bagi hukum ashal untuk dapat di rentangkan pada kasus lain (furu’) melalui
qiyas adalah sebagai berikut:
1. Hukum
ashal itu adalah hukum syara’, karena tujuan dari qiyas syar’I adalah untuk
mengetahui hukum syara’ pada furu’, baik dalam bentuk itsbat (adanya hukum)
atau dalam bentuk naïf (tidak ada hukumnya) seandainya hukum ashal itu bukan
hukum syara’, maka tujuan penggunaan qiyas tidak akan berhasil.
2. Hukum
ashal itu di tetapkan dengan nash, bukan dengan qiyas. Satu pendapat
mengatakan, juga bukan ijma’. Alasan tidak bolehnya ashal di tetapkan dengan
qiyas, karena berarti hukum ashal itupun pada mulanya merupakan furu’ dari
qiyas yang lain.
3. Hukum
ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku; bukan hukum yang telah di nasakhkan,
sehingga masih mungkin dengan hukum ashal itu membangun (menetapkan) hukum.
4. Hukum
ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas; karena bila menyimpang
ketentuan qiyas, maka tidak mungkin meng-qiyas-kan sesuatu pada ashal itu,
sebab dalam hukum ashal sepertiitu tidak ada daya rentang.
5. Hukum
ashal itu harus di sepakati oleh ulama; karena kalau belum disepakati tentu
diperlukan usaha menetapkannya lebih dahulu bagi ulama yang tidak menerimanya.
6. Dalil
yang menetapkan hukum ashal, secara lansung tidak menjakau kepada furu’.
Maksudnya hukum ashal yang menjangkau kepada furu’ adalah dalil hukum pada
furu’ itu juga merupakan dalil hukum pada ashal.
Qiyas memiliki rukun yang
terdiri dari empat hal:
1.
Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum
nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2.
Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash
hukumnya, disebut pula al-maqîs.
3.
Hukum
al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya.
Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
4.
Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal
atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.[25]
Bagian 7
Istihsan sebagai
dalil
hukum islam
Menurut bahasa, istihsan berarti
menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah
meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu
peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara''.
Jadi singkatnya, istihsan adalah
tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada
suatu dalil syara'' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.Mula-mula peristiwa
atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus
dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk
meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu,
pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat,
tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Khilaf
Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang
menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah
Al-Imam As-Syafi''i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya
berdasarkan keinginan hawa nafsu.
Imam
Syafi''i berkata, "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara'' berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang
yang berhak menetapkan hukum syara'' hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah
Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan,
Contoh ihtisan
"Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan nya.
Kehujahan ihtiksan
Yang
dimaksud dengan kehujahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang
wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan
Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Menurut
Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Ushul Al-Fiqh Al-Islami, orang yang pertama
kali berpegang dengan dalil-dalil ini diluar ‘ijma adalah Imam Asy-Syafi’I (w.
204 H) dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-Umm.
Kehujahan
hadits sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy
yang menuturkan tentang kenabian Mohammad saw. Selain itu, keabsahan hadits
sebagai dalil juga ditunjukkan oleh nash-nash qath’iy yang menyatakan, bahwa
beliau saw tidak menyampaikan sesuatu (dalam konteks syariat) kecuali
berdasarkan wahyu yang telah diwahyukan. Semua peringatan beliau saw adalah
wahyu yang diwahyukan. Oleh karena itu, hadits adalah wahyu dari Allah swt,
dari sisi maknanya saja, tidak lafadznya. Hadits adalah dalil syariat tak
ubahnya dengan al-Quran. Tidak ada perbedaan antara al-Quran dan Hadits dari
sisi wajibnya seorang Muslim mengambilnya sebagai dalil syariat.
berfirman di dalam
al-Qur'an:
Artinya:
Artinya:
"Dan
Kami menurunkan kepada kamu adz-dzikr, agar engkau menjelaskan kepada manusia tentang
apa yang telah diturunkan kepada mereka." (an-Nahl: 44)
Jika sekiranya, hadits itu bukan merupakan hujah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an Sabda Nabi SAW ;
Jika sekiranya, hadits itu bukan merupakan hujah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an Sabda Nabi SAW ;
Artinya:
"Ingat! Bahwa saya diberi al-Quran dan yang seperti al-Quran
(Hadits)." (H.R. Abu Daud).
Karena
itu, hadits, baik ia menjelaskan al-Qur'an atau berupa penetapan sesuatu hukum,
umat Islam wajib mentaatinya apabila
kita teliti, hadits terhadap al-Qur'an, dapat berupa menetapkan dan mengokohkan
ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur'an, atau berupa penjelasan
terhadap al-Qur'an, menafsiri serta memperincinya, atau juga menetapkan sesuatu
hukumyang tidak terdapat di dalam al-Qur'an.
Menurut
para pakar-pakar
Hal ini juga dikemukakan oleh Imam
asy-Syafi'i di dalam ar-Risalahnya. Jika sekiranya, hadits itu bukan merupakan
hujah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita
tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan
ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an
Namun
kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat
Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi''i.
Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu
semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa
nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi''i, istihsan itu timbul karena rasa kurang
enak, kemudian pindah kepada rasa pengertian yang disepakati, tentulah
perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. yang lebih enak.
Bagian 8
MASHALIH MURSALAH sebagai dalil hukum islam
A. DEFINISI DAN
SYARATNYA
Mashlahah Mursalah ialah kebaikan (mashlahah) yang
tidak di singgung-singgung syara’, untuk mengerjakannya atau meninggalkannya,
sedang kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari keburukan.
Berdasarkan
istqra’ (penelitian empiris) dan nash-nash al-Qur’an maupun hadits
diketahui bahwa hukum-hukum syari’at Islam mencakup di antaranya pertimbangan
kemaslahatan manusia.
Allah
SWT berfirman:
!$tBur
»oYù=yör&
wÎ)
ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9
ÇÊÉÐÈ
Artinya : “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan
untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya : 107)
Maslahat
ini dapat ditangkap jelas oleh orang yang mempunyai mau berfikir (intelektual),
meskipun bagi sebagian orang masih dirasa samar atau mereka berbeda pendapat
mengenai hakekat maslahat tersebut. Perbedaan persepsi tentang maslahat itu
sebenarnya bermula dari perbedaan kemampuan intelektualitas orang-perorang
sehingga tidak diketemukan hakekat maslahat yang esensial yang terdapat dalam
hukum Islam, atau terpengaruh oleh keadaan yang bersifat temporal, atau diambil
berdasarkan pandangan yang bersifat lokalistik atau personal, sebagaimana
sebagaian orang yang menganggap adanya maslahat tentang diperbolehkannya
mengambil ‘bunga’ (tambahan atas pinjaman). Akibatnya, kebolehan mengambil
bunga itu dilakukan secara berlebihan (melampaui batas) dan menjadi gejala
fenomenal di tengah masyarakat. Mereka beranggapan bahwa bunga tidak termasuk
ke dalam pengertian umum tentang riba yang diharamkan berdasarkan nash
al-Qur’an.
Maslahat yang Mu’tabarah (dapat diterima) ialah maslahat-maslahat yang bersifat
hakiki, yaitu meliputi lima jaminan dasar.
1. Keselamatan
keyakinan agama,
2. Keselamatan
jiwa,
3. Keselamatan
akal,
4. Keselamatan
keluarga dan keturunan,
5. Keselamatan
harta benda.
Kelima
jaminan dasar itu merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar umat manusia
dapat hidup aman dan sejahtera.
Jika
memang kemaslahatan manusia adalah yang menjadi tujuan Syar’i, maka
sesungguhnya hal itu terkandung di dalam keumuman syari’at dan hukum-hukum yang
ditetapkan Allah. Dalam konteks kemaslahatan duniawi yang dihubungkan dengan
nash-nash syara’, para ahli fiqh (fuqaha’)
terbagi dalam ketiga golongan.
Golongan Pertama, berpegang teguh pada ketentuan
nash. Golongan ini memahami nash hanya dari segi lahiriyahnya semata (tekstual)
dan tidak berani memperkirakan adanya maslahat di balik suatu nash.
Golongan Kedua, mencari kemaslahatan dari nash yang
diketahui tujuannya dari ‘illatnya. Karenanya, mereka menqiaskan setiap kasus yang jelas mengandung suatu maslahat, dengan
kasus lain yang jelas ada ketetapan nashnya dalam maslahat tersebut.
Golongan ketiga, menetapkan setiap maslahat harus
ditempatkan pada kerangka kemaslahatan yang ditetapkan oleh syari’at Islam,
yaitu dalam rangka terjaminnya keselamatan jiwa, keyakinan agama, keturunan,
akal dan harta benda.
Maslahat Mursalah atau Istishlah ialah maslahat-maslahat yang bersesuaian dengan
tujuan-tujuan syari’at Islam, dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus,
baik bersifat melegitimasi atau membatalkan maslahat tersebut.
Imam
Malik adalah Imam Madzhab yang menggunakan dalil Maslahat Mursalah. Untuk menerapkan dalil ini, ia mengajukan tiga
syarat yang dapat dipahami melalui definisi di atas, yaitu :
1. Adanya
persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri
sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqashid
as-syari’ah). Dengan adanya persyaratan ini, berarti maslahat tidak boleh
menegasikan sumber dalil yang lain, atau bertentangan dengan dalil yang qat’iy. Akan tetapi harus sesuai dengan
maslahat-maslahat yang memang ingin diwujudkan oleh Syar’i.
2. Maslahat itu
harus masuk akal (rationable),
mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, di mana
seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis akan dapat diterima.
3. Penggunaan
dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang mesti
terjadi (raf’u haraj lazim). Dalam
pengertian, seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu tidak diambil,
niscaya manusia akan mengalami kesulitan.
Syarat-syarat
di atas adalah syarat-syarat yang masuk akal yang dapat mencegah penggunaan
sumber dalil ini (maslahat mursalah) tercerabut dari akarnya (menyimpang dari
essensinya) serta mencegah dari menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-hukum
yang dipengaruhi hawa nafsu dan syahwat dengan Maslahat Mursalah.
B. KEHUJAHAN
MASHALIH MURSALAH
Golongan
Maliky sebagai pembawa bendera Maslahat
Mursalah, sebagaimana telah disebutkan, mengemukakan tiga alasan sebagai
berikut :
1. Praktek para
sahabat yang telah menggunakan Maslahat
Mursalah
2. Adanya Maslahat sesuai dengan maqasid as-Syar’i (tujuan-tujuan
syar’i), artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqasid as-Syar’i. sebaliknya
mengesampingkan maslahat berarti mengesampingkan maqasid as-Syar’i. sedang mengesampimgkan maqasid as-Syar’i adalah batal. Oleh karena itu wajib menggunakan
dalil maslahat atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum
ini tidak keluar dari ushul (sumber-sumber
pokok), bahkan terjadi sinkronisasi antara maslahatt
dan maqasid as-Syar’i.
3.
Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus
yang jelas mengandung maslahat selama berada dalam konteks maslahat-maslahat
syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesuliatan dan kesempitan.
Allah SWT berfirman:
ÞOn=÷èt
$tB
ú÷üt/
öNÍgÏ÷r&
$tBur
öNßgxÿù=yz
3 n<Î)ur
«!$#
ßìy_öè?
âqãBW{$#
ÇÐÏÈ
Artinya
: “Dia tidak sekali-kali menjadikan untuk
kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj : 76)
Demikianlah alasan-alasan yang
dikemukakan oleh Imam Malik. Adapun alasan-alasan dari golongan yang tidak
memakai dalil maslahat, dapat teringkas ke dalam empat hal sebagai berikut:
1.
Maslahat yang tidak didukung oleh dalil
khusus akan mengarah pada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan nafsu
yang cenderung mencari keenakan. Padahal tidak demikian halnya prinsip-prinsip
syari’at Islam. Dalam menjelaskan alasan tersebut dalam kaitannya dengan
ihtihsan dan Maslahat Mursalah, Imam al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya kita
tahu dan yakin bahkan pada hawa nafsu dan syahwat tanpa memandang indikasi dari
beberapa dalil. Istihsan tanpa
memperhitungkan dalil-dalil syara’ adalah hukum yang didasarkan pada hawa nafsu
semata.” Khusus mengenai Maslahat
Mursalah ia berkata : “Maslahat
Mursalah jika tidak ditopang oleh Syar’i (adanya dalil syara’) kedudukannya
sama dengan Istishan.”
2.
Maslahat andaikan dapat diterima (mu’tabarah), ia termasuk ke dalam
kategori qiyas dalam arti luas
(umum); andaikan tidak mu’tabarah, maka
ia tidak tergolong qiyas. Adalah
tidak bias dibenarkan suatu anggapan yang mengatakan bahwa pada suatu masalah
terdapat maslahat mu’tabarah
sementara maslahat itu tidak termasuk ke dalam nash atau qiyas. Sebab
pandangan semacam itu akan membawa ke suatu kesimpulan tentang teerbatasnya
nash-nash al-Qur’an atau hadits Nabi dalam menjelaskan syari’at dengan kenyataan
tabligh yang telah diperankan oleh
Nabi SAW serta bertentangan dengan sabdanya.
3.
Mengambil dalil maslahat
tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat kepada suatu penyimpangan
dari hukum syari’at dan tindakan kelaliman terhadap rakyat dengan dalil maslahat, sebagaimana yang dilakukan
oleh sebagian raja-raja yang lalim. Dalam hubungan ini Ibnu Taimiyah berkata:
“Hal tersebut ditinjau dari segi kemaslahatan akan menimbulkan kegoncangan
besar dalam urusan agama. Sejumlah besar dan masyarakat melihat adanya maslahat
lalu menjalankannya, berdasarkan pada prinsip tersebut (mengambil maslahat
tanpa berpegang pada nash). Di antara maslahat-maslahat itu kadangkala
sebenarnya merupakan larangan syara’ yang tidak diterima atau diketahui;
kadangkala mereka mengajukan dalam maslahat
mursalah ungkapan (kalam) yang
berlawanan dengan nash.
4.
Seandainya kita memakai maslahat sebagai sumber hukum
pokok yang berdiri sendiri, niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya
perbedaan hukum akibat perbedaan Negara, bahkan perbedaan pendapat perorangan
dalam satu perkara. Di suatu Negara, perkara tersebut tergolong haram karena
dipandang mengandung kemadharatan, sementara di Negara lain tergolong halal
karena dipandang mengandung manfaat. Atau, haram karena mengandung madharat
menurut sebagian orang, dan halal menurut sebagian orang yang lain. Padahal
tidak demikian seharusnya syari’at yang berlaku universal, sepanjang zaman.
C. MENETRALISIR
PERTENTANGAN PENDAPAT
Jumhur
fuqaha’ sepakat bahwa Maslahat dapat
diterima dalam fiqh Islam. Dan, setiap maslahat
wajib diambil sebagai sumber hukum selama bukan dilatarbelakangi oleh dorongan
syahwat dan hawa nafsu dan tidak bertentangan dengan nash serta maqasid as-Syar’i (tujuan-tujuan
syar’i). Hanya saja golongan Syafi’iyah dan Hanafiyah sangat memperketat
ketentuan maslahat. Maslahat harus
mengacu pada qiyas yang mempunyauu ‘illat
yang jelas batasannya (mundhabithah)
yang mengandung esensi maslahat,
meskipun kemaslahatan terkadang tidak mengandung ‘illat dalam kondisi tertentu.
Golongan Maliki dan Hanbali berpendapat, bahwa sifat munasib yang merupakan alasan adanya maslahat, meskipun tidak jelas batasannya, patut menjadi ‘illat bagi qiyas. Kalau memang demikian – sifat
munasib layak dijadikan ‘illat – maka
berarti Maslahat Mursalah termasuk
kedalam macam qiyas. Oleh karena itu,
ia bias diterima sebagai sumber hukum sebagaimana halnya diterimanya qiyas
berdasarkan sifat munasib, yaitu hikmah, tanpa memandang apakah ‘illat
itu mundhabithah atau tidak. Karena
begitu dekatnya pengertian sifat munasib
dan maslahat mursalah sehingga
sebagian ulama Madzhab Maliky menganggap bahwa sesungguhnya semua ulama ahli
fiqh memakai dalil Maslahat, meskipun
mereka menamakannya sifat munasib, atau
memasukkannya ke dalam bagian qiyas. Dalam
hal ini Imam al-Qarafy berkata :
“Maslahat Mursalah bila diselidiki ternyata terdapat
pada seluruh madzhab. Sebab mereka ada yang menggunakan pendekatan qiyas dan
ada yang menggunakan pendekatan sifat
munasib yang tidak menganggap perlu adanya dalil. Padahal sebenarnya itulah
yang dimaksud dengan maslahat mursalah. Diantara
yang menguatkan diterapkannya dalil maslahat
mursalah ialah praktek-praktek para sahabat dalam berbagai hal karena
alasan maslahat secaa mutlak, bukan
karena adanya dalil yang menunjukkan hukum mengenai hal tersebut. Contoh
praktek sahabat di atas seperti penulisan mushaf al-Qur’an yang tidak dilakukan
di zaman Nabi; penggantian khalifah berdasarkan wasiyat dari Abu Bakar kepada
Umar dimana belum pernah diterapkan pada masa sebelumnya yang karenanya prinsip
musyawarah ditinggalkan; pembentukan lembaga-lembaga pemerintah; pencetakan
mata uang bagi kaum muslimin; pembuatan rumah tahanan; dan penggunaan tanah
waqaf yang ada di depan masjid Rasulullah SAW untuk pelebaran masjid ketika
dirasakan sudah terlalu sempit, yang dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan
RA”.
Anggapan
sebagian ulama Madzhab Maliki di atas, yakni bahwa golongan Syafi’iyah dan
Hanafiyah memakai dalil maslahat
mursalah, perlu ditinjau kembali. Masalah ini banyak dibicarakan di
berbagai kitab. Iman Asnawi menuturkan hal itu dengan beberapa catatan, begitu
pula Imam Syathibi menguraikan dalam salah satu kitabnya. Berkenaan dengan Maslahat Mursalah, para ulama
mengemukakan empat pandangan; sebagai berikut:
Pertama, menolah maslahat mursalah selama tidak berdasarkan kepada sumber pokok (aslh) yang kuat (al-Qur’an dan Hadits).
Maka jika berdasarkan kepada aslh
yang kuat, maka ia termasuk qiyas.
Kedua, Maslahat Mursalah dapat diterima selama sesuai dengan maqasid as-Syar’i dan tidak bertentangan
dengan ashl yang tsabit (kuat). Maslahat-maslahat yang boleh diterima bisa terbebas
dari berbagai qayd (batasan), kecuali
dua qayd tersebut.
Ketiga, Maslahat Mursalah diterima apabila mendekati makna
dari ashl tsabit (sumber pokok yang
kuat/Qur’an dan Hadits), meskipun secara langsung tidak bersandarkan kepada
sumber pokok yang berdiri sendiri.
Keempat, pendapat al-Ghazali: bahwa “Maslahat Mursalah diterima apabila
merupakan dharurat yang pasti
(qath’iy)”.
Demikian
beberapa pandangan tentang dimasukkannya maslahat
dalam Islam sebagai salah satu sumber istidlah
dan metode untuk menetapkan hukum Islam. Sebagaimana telah diterangkan,
bahwa maslahat mursalah dibatasi
dengan qayd (kalifikasi) tertentu,
sehingga ia tidak tercabut dari akar syari’at dan tidak mengesampingkan nash-nash yang qath’i.
Bagian 9
Ijtihad dan tingkatannya
A.
MUJTAHID
1.
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad (Arab: اجتهاد)
adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan
oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara
yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal
sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan
bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
2.
Tujuan ijtihad
Untuk
memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat
tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
3.
Fungsi
Ijtihad
Meski
Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal
dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist.
Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan
modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan
aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama
sehari-hari.
Jika
terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan
yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada
ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam
memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka
yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
B.
SYARAT-SYARAT
MUJTAHID
Setelah
menyoalkan tentang pengertian Ijtihad, sekarang kita alihkan ke persoalan
syarat-syarat mujtahid, Secara umum ulama ushul fiqh menyatakan bahwa
syarat-syarat mujtahid ada lima yakni :
1. Harus
mengetahui Al-qur’an dan sunnah, maka tidak mengetahui salah satuya maka ia
tidak layak di sebut mujtahid. Bahkan tidak sedikit ulama mengaharuskan bahwa
seseorang bolah menjadi mujtahid, bila ia menguasi 500 ayat yang mengenai hokum
dan 5000 hadits Rasulullah.
2. Mengetahui
tentang Ijma’. Ijma’ adalah sumber hukum yang ketiga. Karena itu seorang
mujtahid harus paham apa saja yang telah disepakati oleh Ijma’ ulama. Jika ia
menyalahi Ijma’ tentunya ia akan menyalahi Al-qur’an dan sunnah.
3. Mengetahui
bahasa arab dan tata bahasanya. Fungsinya agar tidak salah memahami maksud dari
firman Allah dan Hadits Rasulullah.
4. Menguasai
ilmu ushul fiqh dengan benar-benar memumpuni. Pasalnya tidak bisa melakukan
Istinbat hukum jika tidak menguasi ilmu ushul fiqh . segala permasalah baru di
klaim sebagai furu’ yang harus kepada ashal yang memiliki sandaran hukum dari
Al-qur’an dan sunnah.
5. Mengetahui
Nasikh dan Mansukh. Fungsinya adalah agar tidak mengeluarkan hukum berdasarkan
dalil yang telah di manshukhkan
C.
PEMBAGIAN-PEMBAGIAN
MUJTAHID
Pada prinsipnya pembagian mujtahid menjadi
dua—ahl al-hadîts dan ahl ar-ra’yi— kembali pada adanya sebagian
fukaha (ahli fikih) yang giat mencari dasar-dasar yang menjadi landasan istinbâth.
Mereka kemudian memberi penjelasan bahwa hukum-hukum syariat dapat dijangkau
maknanya oleh akal, yaitu diturunkan untuk menyelesaikan seluruh problem
manusia, merealisasikan seluruh kemaslahatan bagi mereka, serta menolak segala
kerusakan dari mereka. Karena itu, nash harus dipahami dengan pemahaman yang
luas, yang mencakup semua unsur yang ditunjukkan oleh ‘ibarat
(ungkapan)-nya. Berdasarkan patokan ini, manusia dapat memahami nash-nash dan
melakukan analisis (tarjîh) terhadap satu nash atas nash yang
lain.
Kemudian mereka dapat melakukan istinbâth
(penggalian hukum) atas nash-nash tersebut jika suatu masalah tidak terdapat di
dalam nash.
Sementara
itu, para fukaha yang lain memperhatikan (menyelidiki) hapalan khabar (hadis) ahad
dan fatwa-fatwa para sahabat. Lalu mereka mengarahkan istinbâth
mereka ke arah pemahaman bahwa khabar dan atsar tersebut harus dalam
batasan nash-nashnya, yang kemudian diterapkan pada berbagai peristiwa yang
terjadi. Dari sinilah munculnya perbedaan mengenai patokan nash-nash sebagai
dalil-dalil syariat.
Memang dijumpai kecaman terhadap penggunaan
ar-ra’yu. Dalam Shahîh al-Bukhârî disebutkan bahwa ‘Urwah bin
Zubair pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ
انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ
الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا
جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya
Allah tidak akan mencabut ilmu secara langsung setelah diberikannya kepada
hamba-hambanya. Akan tetapi, Dia akan mencabutnya dengan cara mewafatkan para
ulama, sehingga ketika tidak ada seorang ulama pun (di tengah-tengah manusia),
orang-orang menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka. Mereka
diminta fatwanya lalu mereka memberikan fatwa tanpa didasarkan pada ilmu.
Mereka itu adalah sesat dan menyesatkan”.
(HR al-Bukhari).
Sementara itu, ‘Auf bin Malik al-Asyja’i
menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
تَفْتَرِقُ أُمَتِيْ عَلَى بِضْعٍ وَ
سَبْعِيْنَ فِرْقَةً أَعْظَمُهَا فِتْنَةً قَوْمٌ يَقِيْسُوْنَ الدِّيْنَ
بِرَأْيِهِمْ يُحَرِّمُوْنَ بِهِ مَا أَحَلَّ اللهُ وَيُحِلُّوْنَ مَا حَرَّمَ
اللهُ
“Umatku
akan terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan. Yang paling besar fitnahnya
adalah suatu kaum yang selalu meng-qiyâs-kan
agama dengan pendapat (ra’yu)-nya. Mereka mengharamkan dengan
pendapatnya apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang telah
diharamkan Allah”.
Ibn
‘Abbas juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
‘Siapa
saja yang berbicara mengenai al-Quran tanpa didasarkan pada ilmu, maka dia akan
menempati tempat duduknya (yang terbuat) dari api neraka”.
(HR Ahmad).
Hadis-hadis di atas memang menegaskan
celaan terhadap ra’yu (pendapat). Akan tetapi, yang dimaksud dengan ar-ra’yu
di sini adalah penafsiran yang bertumpu pada ilmu. Sebaliknya, yang
dimaksud dengan pendapat (ra’yu) yang tercela (yang ada pada hadis-hadis
di atas) adalah perkataan berkedok syariat tanpa sanad dan tanpa ilmu.
Karena itu, berkaitan dengan pendapat yang bersandar pada prinsip-prinsip
syariat, hadis-hadis dan atsar-atsar yang ada menunjukkan bahwa hal itu
adalah hukum syariat dan bukan pengambilan pendapat (ra’yu) yang dicela.
Nabi saw. membolehkan seorang hakim untuk
berijtihad dengan pendapatnya. Kesalahannya dalam berijtihad bahkan tetap
memperoleh satu ganjaran (pahala) apabila tujuannya untuk mengetahui dan
mengikuti kebenaran. Nabi saw. juga memuji sikap Mu‘adz, sebagaimana riwayat
berikut:
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ r بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ
كَيْفَ تَقْضِي
فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ
اللهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ rقَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ
رَسُولِ اللهِ َ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ
الْحَمْدُ للهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ »
“Rasulullah
saw., ketika mengirimkan Mu‘adz ke Yaman, bertanya, “Apa yang akan engkau
lakukan jika engkau dihadapkan pada suatu perkara? Mu‘adz menjawab, “Aku akan
memutuskan dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah.” Lalu Rasulullah bertanya
lagi, “Jika tidak terdapat dalam Kitabullah?” Mu‘adz menjawab, dengan Sunnah
Rasululah.” Kemudian beliau bertanya lagi, “Jika tidak terdapat dalam Sunnah
Rasulullah?” Mu‘adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku.” Lalu
Rasulullah berkata, “Segala pujian milik Allah Yang telah memberi taufik
kepada utusan Rasulullah.” (HR at-Tirmidzi).
Ra’yu semacam
itulah yang dijalani oleh para fukaha dan para mujtahid ashhâb ar-ra’yi
sebagai pengamalan Sunnah, yaitu pendapat yang disandarkan pada nash.
Mereka juga sebenarnya adalah para ahli hadis walaupun mereka dinamai dengan ahl
ar-ra’yi. Bahkan kaum Hanafiyah (para pengikut Abu Hanifah) yang terkenal
dengan sebutan ahl ar-ra’yi telah bersepakat bahwa (pendapat mazhab Abu
Hanifah tentang) hadis yang lebih rendah dari hadis sahih, yaitu hadis hasan
lebih utama (diunggulkan) daripada qiyâs dan ra’yu. Karena
itu, hadis al-Qahqahah lebih didahulukan—padahal hadis tersebut hasan,
tidak sampai pada tingkatan sahih—daripada qiyas dan ra’yu dalam
kasus larangan memotong tangan seorang pencuri dengan pencurian kurang dari 10
dirham. Ini adalah sekadar contoh yang menunjukkan bahwa ra’yu menurut
mereka adalah memahami suatu nash.
Sementara itu, qiyâs—menurut
mereka—lebih rendah martabatnya dari hadis hasan, apalagi hadis sahih.
Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ra’yu adalah memahami nash
dan berpendapat berdasarkan pada nash. Jadi, ahl ar-ra’yi adalah juga ahl
al-hadîts.
Dengan demikian fakta ar-ra’yu yang
sebetulnya amat berbeda dengan ra’yu yang dimaksudkan oleh para
intelektual Muslim saat ini yang menggunakan akal secara bebas dan tanpa ilmu.
Anggapan semacam ini merupakan hasil dari serbuan dan didikan peradaban Barat.
Sebab, demokrasilah yang mengajarkan kepada mereka kebebasan berpikir dan
penggunaan akal pikiran (ar-ra’yu) seluas-luasnya. Padahal, memahami
teks dari nash-nash al-Quran dan Sunnah serta menjalankan aktivitas ijtihad
atau istinbâth (penggalian hukum) harus bersandar pada ilmu dan
kaidah-kaidah bahasa Arab.
Adapun
dasar dari keharusan berijtihad ialah antara lain terdapat pada al-Qur'an surat
an-Nisa ayat 59:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä
(#qãèÏÛr&
©!$#
(#qãèÏÛr&ur
tAqߧ9$#
Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB
( bÎ*sù
÷Läêôãt»uZs? Îû
&äóÓx«
çnrãsù n<Î)
«!$#
ÉAqߧ9$#ur
bÎ) ÷LäêYä.
tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4
y7Ï9ºs ×öyz ß`|¡ômr&ur ¸xÍrù's?
ÇÎÒÈ
Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu,
Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Berbeda
dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan
sebagi berikut :
a. Pada
dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang
mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang
relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada
suatu ijtihad pun adalah relatif.
b. Sesuatu
keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi
tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak
berlaku pada masa / tempat yang lain.
c. Ijtihad
tidak berlaku dalam urusan penambahan
ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan
Rasulullah.
d. Keputusan
ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e. Dalam
proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat,
kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan
jiwa daripada ajaran Islam.
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan
lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil
oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat
turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru
akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan
Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di
suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut
dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya
dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut
harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau
Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas
atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka
umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad
adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist. Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah
membuat methode-methode antara lain sebagai berikut :
a.
Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan
suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu
perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama
dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma
adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang
untuk diikuti seluruh umat.
b.
Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya
menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa
sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai
aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan
Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum
ditetapkan pada masa-masa sebelumnya Beberapa definisi qiyâs (analogi)
Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik
persamaan diantara keduanya. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif
lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya. Tindakan
menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau
[Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
c.
Istihsân
Beberapa definisi Istihsân
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena
dia merasa hal itu adalah benar. Argumentasi dalam
pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang
banyak.
Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah
kemudharatan.
Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat
terhadap perkara yang ada sebelumnya.
d.
Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik
manfaat dan menghindari kemudharatan.
e.
Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi
makruh atau haram demi kepentinagn umat.
f.
Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan
sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
g.
Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan
masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan
aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.
1. SYARAT-SYARAT
MUJTAHID
Tidak
semua orang dapat berijtihad begitu saja dan mengeluarkan fatwa. Untuk mencapai
derajat Mujtahid, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Diantara
syarat-syarat mujtahid itu adalah:
a. Menguasai
bahasa Arab. Mujtahid haruslah mampu memahami ucapan orang Arab dan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan
mereka. Sehingga ia dapat membedakan antara ucapan yang sharih, zhahir, mujmal,
haqiqat, majaz, umum, khusus, muhkam, mutasyabih, muthlaq, muqoyyad, nash,
serta mudah atau tidaknya dalam pemahaman.
b. Mengetahui
Nasakh dan Mansukh dalam Al-Qur’an serta Asbabun Nuzul, dan seluk beluk
ayat-ayat hukum.
c. Mengerti
Sunnah (Hadits) serta Asbabul Wurud. Mujtahid haruslah mengerti seluk beluk
hadits dan perawinya secara umum.
d. Mengerti
ijma’ dan ikhtilaf. Mujtahid haruslah mengetahui ijma’ para ulama dan
dasar-dasarnya. Dan mujtahid juga harus mengetahui hal-hal ikhtilaf beserta
seluk-beluknya.
e. Mengetahui
Qiyas. Mujtahid haruslah mengetahui jalan-jalan qiyas yang benar. Bahkan boleh
dikatakan bahwa ijtihad itu adalah Qiyas itu sendiri.
f.
Mengetahui
maksud-maksud hukum.
g. Telah
baligh serta mempunyai pemahaman dan penalaran yang benar.
h. Mempunyai
Aqidah dan niat yang benar.
2. TINGKATAN
MUJTAHID
a. Mujtahid
Muthlaq atau Mustaqil.
Mujtahid
Mustaqil (mandiri, independen) adalah ulama yang telah memenuhi semua
syarat-syarat di atas. Mereka punya otoritas untuk mengkaji hukum langsung dari
Al-Qur’an dan Sunnah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan
maslahat, dan menggunakan methode yang dirumuskan sendiri dalam berijtihad
tanpa mengekor kepada mujtahid lain. Pendapatnya kemudian disebarluaskan kepada
masyarakat. Termasuk dalam tingkatan ini adalah seluruh fuqoha dari kalangan
shahabat, fuqoha dari kalangan tabi’in seperti Sa’id bin Musayyab dan Ibrahim
an-Nakha’i, fuqoha mujtahid seperti Ja’far ash-Shadiq dan ayahnya, Muhammad
al-Baqir, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Auza’i, al-Laits
bin Sa’ad, Sufyan ats-Tsaury, dan Abu Tsaur. Namun yang madzhabnya tetap
masyhur hingga kini adalah 4 Imam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
b. Mujtahid
Muntasib.
Mujtahid
Muntasib adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil/memilih pendapat-pendapat
imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang, meskipun
secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hampir sama
dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya. Termasuk dalam tingkatan ini
seperti al-Muzani (dari madzhab Syafi’i) dan Abdurrahman ibnu Qosim (dari
madzhab Maliki).
c. Mujtahid
Madzhab.
Mujtahid
Madzhab mengikuti imamnya dalam ushul maupun furu’ yang telah jadi. Peranan
mereka sebatas melakukan istinbath hukum terhadap masalah-masalah yang belum
diriwayatkan oleh imamnya. Mujtahid madzhab tidak berhaq berijtihad terhadap
masalah-masalah yang telah ada ketetapannya di dalam madzhab yang dipegangnya,
kecuali dalam lingkup terbatas. Menurut madzhab Maliki, tidak pernah kosong
suatu masa dari mujtahid madzhab.
d. Mujtahid
Murajjih.
Mujtahid
Murajjih hanya mentarjih (mengunggulkan dan menguatkan) diantara
pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari imamnya dengan alat tarjih yang telah
dirumuskan oleh mujtahid-mujtahid pada tingkatan-tingkatan di atasnya. Mereka
mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain dalam madzhab yang dipegangnya
karena dipandang lebih kuat dalilnya, atau karena sesuai dengan konteks
kehidupan masyarakat pada masa itu, atau karena alasan-alasan lain, namun tidak
melakukan kegiatan istinbath baru yang independen. Ini adalah tingkatan paling
rendah dalam Ijtihad.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. Hanafi, Ushul
Fiqh, Penerbit, Wijaya, Jakarta, tahun 1961.
Djazuli,
Aen Nurol, Ushul Fiqh metodelogi hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada:
Jakarta.2000
Harun
Nasution, DR. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Penerbit Bulan
Bintang, Jakarta.
Karim
Safi’i, Ushul Fiqh, Pustaka Setia Bandung: Bandung.1997
Sulaiman
Sabiq, Fiqhus Sunnah, Beirut, tahun 1968.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar