BUYA MUDO RASIDIN

Anda Bertanya, Buya Menjawab

Religius, Cultural, dan Rasional

Selasa, 03 Desember 2013

Kumpulan Resume Mahasiswa Matakuliah Ushul Fikih 1



Bagian 1
Pengantar Ushul Fiqh

A.    Pengertian Ushul Fiqh
Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah.  
Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.
Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh. Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim :

http://www.cybermq.com/gambarpustaka/pengertian1.gif


Artinya:
"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."
Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/pengertian2.gif



Artinya:
"Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ".
Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.
Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu:
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/pengertian3.gif



Artinya:
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/pengertian5.gif


Artinya:
".....dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)
Atau seperti sabda Rasulullah SAW :
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/pengertian6.gif



Artinya:
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Hadits tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar. Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan :
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/pengertian7.gif


              

Artinya:
"Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara'; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :
http://www.cybermq.com/gambarpustaka/pengertian8.gif



Artinya : "Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci."

Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash
syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan :

http://www.cybermq.com/gambarpustaka/pengertian9.gif



Artinya: "Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."
B.     Tujuan Ilmu Ushul Fiqh
Setelah mengetahui definisi ushul fiqh beserta pembahasannya, maka sangatlah penting untuk mengetahui tujuan dan kegunaan ushul fiqh. Tujuan yang ingin dicapai dari ushul fiqh yaitu untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dali syara’ yang terperinci agar sampai pada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali. Dengan ushul fiqh pula dapat dikeluarkan suatu hukum yang tidak memiliki aturan yang jelas atau bahkan tidak memiliki nash dengan cara qiyas, istihsan, istishhab dan berbagai metode pengambilan hukum yang lain. Selain itu dapat juga dijadikan sebagai pertimbangan tentang sebab terjadinya perbedaan madzhab diantara para Imam mujathid. Karena tidak mungkin kita hanya memahami tentang suatu hukum dari satu sudut pandang saja kecuali dengan mengetahui dalil hukum dan cara penjabaran hukum dari dalilnya. Para ulama terdahulu telah berhasil merumuskan hukum syara’ dengan menggunakan metode-metode yang sudah ada dan terjabar secara terperinci dalam kitab-kitab fiqh. Kemudian apa kegunaan ilmu ushul fiqh bagi masyarakat yang datang kemudian?. Dalam hal ini ada dua maksud kegunaan, yaitu:
Pertama, apabila sudah mengetahui metode-metode ushul fiqh yang dirumuskan oleh ulama terdahulu, dan ternyata suatu ketika terdapat masalah-masalah baru yang tidak ditemukan dalam kitab terdahulu, maka dapat dicari jawaban hukum terhadap masalah baru itu dengan cara menerapkan kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahulu.
Kedua, apabila menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab fiqh, akan tetapi mengalami kesulitan dalam penerapannya karena ada perubahan yang terjadi dan ingin merumuskan hukum sesuai dengan tuntutan keadaan yang terjadi, maka usaha yang harus ditempuh adalah merumuskan kaidah yang baru yang memungkinkan timbulnya rumusan baru dalam fiqh. Kemudian untuk merumuskan kaidah baru tersebut haruslah diketahui secara baik cara-cara dan usaha ulama terdahulu dalam merumuskan kaidahnya yang semuanya dibahas dalam ilmu ushul fiqh


C.    Ruang Lingkup Ilmu Ushul Fiqh
Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh ini meliputi:
a.
Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
b.
Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
c.
Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
d.
Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
e.
Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
f.
Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
g.
Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah.
h.
Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya.
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushui Fiqh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan.  Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Fiqh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Fiqh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya.
Ushul Fiqh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Fiqh orang mengetahui bagaimana Hukum Fiqh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.
Dengan Usul Fiqh :
-
Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.
-
Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
-
Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
-
Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu merumuskan Hukum Fiqh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam menetapkan hukumnya.
Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi' ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu). Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Fiqh merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang.
Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Fiqh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan.


















Bagian 2
Sumber dan dalil hukum islam

A.    Al-Qur’an
1.      Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam kajian ushul fiqh Al-Qur’an juga disebut dengan Al-Kitab.
Secara etimologis, Al-Qur’an adalah masdar dari kata qa-ra-a, setimbangan dengan kata fu’lan. Ada dua perngtertian AL-Qur’an  dalam bahasa Arab, yaitu Qur’an berarti bacaan dan apa yang tertulis padanya, maqru, serta ismu al-fi’il (subjerk) dari qara’a.
Dari segi terminologi, Al-Qur’an adalah kalam Allah berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan perantara Malaikat Jibril serta diriwayatkan secara mutawatir dan tertulis dalam mushaf.

2.      Fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an berfungsi sebagai pedoman bagi kehidupan dan penghifupan manusia untuk mencapai kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.
Umat Islam membutuhkan Al-Qur’an karena AL-Qur’an :
a.      Mengajak manusia untuk menggali isinya.
b.      Menjadi peringatan untuk seluruh manusia yang bersifat universal.
c.       Sebagai sumber informasi untuk segala hal.
3.      Pokok-pokok isi kandungan Al-Qur’an
Pokok-pokok isi kandungan Al-Qur’an mencakup beberapa hal antara lain sebagai berikut :
a.      Tauhid, segala inti dari seluruh akidah (kepercayaan) karena ada manusia yang menyembah berhala dan adapula yang menyembah Allah
b.      Ibadah, menghidupkan rasa ketauhidan dalam hati dengan arti hubungan antara makhluk dan khaliknya.
c.       Janji baik dan janji buruk, janji baik terhadap orang yang dikehendaki Allah. Janji buruk terhadap orang yang tidak berpegang dengan Al-Qur’an.
d.     Menjelaskan jalan kebahagiaan dan cara-cara melaluinya
e.      Cerita-cerita dan sejarah-sejarah, yaitu kisah para Rasul dan orang-orang shaleh, orang-orang yang tidak mengindahkan ajaran agama secara dzahir.[1]

4.      Cara Al-Qur’an dalam menetapkan hukum
Adapun cara Al-Qur’an dalam menetapkan hukum adalah :
a.      Tidak memberatkan dan menyusahkan, misalnya, manqashar shalat, tidak berpuasa karena musafir, bertayamum, memakan makanan terlarang dalam keadaan darurat.
b.      Tidak memperbanyak beban tuntutan, misalnya zakat hanya diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja.
c.       Berangsur-angsur di dalam mensyariatkan sesuatu, misalnya, pengharaman minuman keras mengalami proses sampai tiga kali, kemudian diputuskan tidak boleh.
5.      Keumuman hukum-hukum Al-Qur’an
Keumuman hukum-hukum Al-Qur’an memerlukan penjelasan dari hadits-hadits Rasulullah SAW. Batas-batas pencakupannya dan dapat diterapkan untuk kuantitas dan kualitas peristiwa yang terjadi.
6.      Ciri khas dan Keistimewaan Al-Qur’an
Al-Qur’an mempunyai ciri-ciri khas dan keistimewaan sebagai berikut :
a.      Lafal dan maknanya datang dari Allah dan disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW.
b.      Al-Qur’an diturunkan dengan lafal dan gaya bahasa Arab, seperti yang difirmankan Allah SWT.
$¯RÎ) çm»oYù=yèy_ $ºRºuäöè% $|Î/ttã öNà6¯=yè©9 šcqè=É)÷ès? ÇÌÈ  
Artinya : Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).
c.       Al-Qur’an disampaikan/diterima melalui jalan tawatur yang menimbulkan keyakinan dan kepastian tentang kebenarannya.


B.     AL-Hadis
1.      Pengertian Hadis
Hadis menurut bahasa mempunyai beberapa arti, yaitu jadid berarti baru;qarib berarti dekat;khabar berarti berita atau warta dan sebagainya.
Menurut istilah, hadis mempunyai beberapa pengertian yang berbeda. Perbedaan itu disebabkan oleh berbedanya para ulama dalam memandang hadis. Artinya, dari sudut mana mereka memandangnya
2.      Kedudukan Hadis
Para ulama menetapkan bahwa hadis Rasul menjadi hujjah dalam agama Islam, disamping Al-Qur’an, baik tentang menghalalkan atau mengharamkan suatu perbuatan.
Firman Allah SWT :
!!$tBur ãNä39s?#uä ãAqߧ9$# çnräãsù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã (#qßgtFR$$sù ......
Artinya : Hendaklah kamu ambil (ikuti) apa yang dibawa oleh Rasul kepadamu dan hendaklah kamu jauhi sesuatu yang dilarang. (Q.S. Al-Hisyr : 7)

Sunnah nabi menjadi hujjah kedua dalam menetapkan hukum syara’. Hadis itu ada yang mutawatir, sahih, hasan, dan dhaif. Yang dapat menjadi hujjah adalah hadis mutawatir, sahih, dan hasan atau hadis lain yang dibantu oleh hadis tersebut, sedangkan hadis dhaif tidak dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum-hukum syara’.
3.      Fungsi dan hubungan Hadis dengan Al-Qur’an
Adapun fungsi dan hubungan Hadis dengan Al-Qur’an adalah :
a.      As-Sunah berfungsi sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam Al-Qur’an. Dengan demikian, hukum tersebut mempunyai dua sumber dan terdapat dua dalil, yaitu yang terdapat di dalam AL-Qur’an dan penguat dari As-Sunah
b.      As-Sunah berfungsi sebagai penafsir atau perinci hal-hal yang disebut secara mujmal di dalam Al-Qur’an. Dengan kata lain As-Sunah memberi penjelasan makna yang dimaksud ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur’an.
c.       As-Sunah berfungsi menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an atau berfungsi untuk menetapkan  hukum yang tidak disebutkan di dalam nash Al-Qur’an.

C.    Ijma’
1.      Pengertian Ijma’
Menurut bahasa, Ijma’ mempunyai dua arti, yaitu berikut ini :
a.      Kesepakatan,
b.      Kebulatan tekad dan niat.
Menurut istilah ahli ushul, Ijma’ yaitu :
Kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah SAW, akan suatu hukum syariat yang amali.
2.      Rukun dan syarat Ijma’
Jumhur ulama ushul fiqih mengemukakan lima rukun dan syarat ijma’ berikut ini :
a.      Yang terlibat dalam pembahasan hukum syara’ melalui ijma’ tersebut adalah seluruh mujtahid. Apabila ada di antara mujtahid yang tidak setuju, sekalipun jumlahnya kecil, hukum yang dihasilkan itu tidak dinamakan hukum Ijma’.
b.      Mujtahid yang terlibat dalam pembahasan hukum itu adalah seluruh mujtahid yang tidak ada pada masa tersebut dari berbagai belahan dunia Islam.
c.       Kesepakatan itu diawali setelah tiap-tiap mujtahid mengemukakan pandangannya.
d.     Hukum yang disepakati itu adalah hukum syara’ yang bersifat aktual dan tidak ada hukumnya secara rinci dalam Al-Qur’an.
e.      Sandaran hukum Ijma’ tersebut haruslah Al-Qur’an dan atau hadis Rasulullah SAW.
3.      Macam-macam Ijma’
Dilihat dari segi cara melakukan Ijma’, ada dua macam Ijma’ :
a.      Ijma’ Sarih, yaitu kesepakatan para mujtahid di suatu ketika terhadap hukum suatu kejadian atau peristiwa dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan. Dengan kata lain, setiap mujtahid menyampaikan ucapan atau perbuatan masing-masing secara jelas
b.      Ijma’ Sukuti, ialah sebagian mujtahid menyajikan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan, sedangkan mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya.

D.    Qiyas
1.      Pengertian Qiyas
Qiyas artinya perbandingan, yaitu membandingkan sesuatu kepada yang lain dengan persamaan illat-nya. Menurut istilah agama, qiyas adalah (mengambil) suatu hukum yang serupa dari hukum yang belum mempunyai ketetapan pada hukum yang telah ada/telah ditetapkan oleh Kitab dan Sunah karena adanya kesamaan, illat antara keduanya (asal dan furu’).
2.      Hukum Qiyas
a.      Allah mensyariatkan hukum hanyalah untuk kemaslahatan hambalah yang menjadi tujuan akhir dari penetapan sesuatu hukum. Pada peristiwa yang tidak disebutkan nash, hikmah dan keadilan menuntut persamaan hukum dalam mewujudkan maslahat yang menjadi tujuan hukum.
b.      Nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunah terbatas dan terhingga, sedangkan peristiwa yang dihadapi manusia dan kebutuhannya tiada terbatas dan terhingga.  Maka nash-nash yang terbatas itu saja tidaklah mungkin menjadi sumber dari sesuatu yang tak terbatas. Qiyaslah yang menjadi sumber tasyri’ yang berjalan seiring dengan peristiwa kejadian yang baru tumbuh dan mangungkapkan hukum syara’ terhadap peristiwa yang baru serta menyetarakan antara tasyri’ dan maslahat.
c.       Qiyas adalah dalil yang didukung oleh jiwa yang sehat dan pikiran yang benar yang dijadikan oleh para pemikir dalam merumuskan hukum-hukumnya. Contohnya, pelarangan meminum minuman karena beracun diqiyaskan dengan segala sesuatu yang mengandung racun.
3.      Macam-macam Qiyas
a.      Dilihat dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan dengan yang terdapat pada asl. Dari segi qiyas dibagi kepada tiga bentuk yaitu :
1.      Qiyas Al Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada furu’ lebih kuat dari hukum asl, karena illat yang terdapat pada furu’ lebih kuat dari yang ada pada asl. Misalnya, mengqiyaskan memukul pada ucapan “ah”.
2.      Qiyas Al-Musawi, yaitu hukum pada furu’ sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada asl, karena kualitas illat pada keduanya juga sama. Misalnya, Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 2 :
(#qè?#uäur #yJ»tFuø9$# öNæhs9ºuqøBr& ( Ÿwur (#qä9£t7oKs? y]ŠÎ7sƒø:$# É=Íh©Ü9$$Î/ ( Ÿwur (#þqè=ä.ù's? öNçlm;ºuqøBr& #n<Î) öNä3Ï9ºuqøBr& 4 ¼çm¯RÎ) tb%x. $\/qãm #ZŽÎ6x. ÇËÈ  
Artinya : Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar. (Q.S. An-Nisa’ : 2)

3.      Qiyas Al-Adna, yaitu illat yang ada pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan illat yang ada pada asl. Misalnya, menqiyaskan apel pada gandum dalam hal berlakunya riba.
b.      Dari segi kejelasan Illat yang terdapat pada hukum, qiyas dibagi atas dua macam :
1.      Qiyas Al-Jaliy, yaitu qiyas yang illatnya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan Hukm Al-Asl, atau nash tidak menetapkan illat-nya. Tetapi dipastikan tidak berpengaruh perbedaan antara asl dan furu’.
2.      Qiyas Al-Khafiy, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam nash.
c.       Dilihat dari keserasian illat dengan hukum, qiyas terbagi menjadi :
1.      Qiyas Al-Muatstsir, yaitu qiyas yang menjadi penghubung antara asl dan furu’ yang ditetapkan melalui nash sarih atau Ijma’, atau qiyas yang ‘ain sifat yang menghubungkan asl dengan furu’ sehingga berpengaruh pada hukum itu sndiri.
2.      Qiyas Al-Mula’im, yaitu qiyas yang illat hukum aslnya mempunyai hubungan yang serasi.
d.     Dilihat dari segi dijelaskan atau tidaknya  illat pada qiyas tersebut.
1.      Qiyas Al-Ma’na, yaitu qiyas yang di dalamnya tidak dijelaskan illatnya, tetapi antara asl dengan furu’ tidak dapat dibedakan.
2.      Qiyas Al-Illat,yaitu qiyas yang dijelaskan illatnya yang merupakan motivasi bagi hukum asl.
3.      Qiyas Al-Dalalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri.
e.      Dilihat dari metode dalam menemukan illat :
1.      Qiyas Al-Ikhalah, yaitu yang illatnya ditetapkan melalui munasabah dan ikbalah.
2.      Qiyas Asy-Syabah, yaitu yang illatnya ditetapkan melalui metode syabah.
3.      Qiyas As-Sibru, yaitu yang illatnya ditetapkan melalui metode As-Sibr wa Al-Taqsim
4.      Qiyas Ath-Thard, yaitu yang illatnya ditetapkan melalui metode tard.
4.      Rukun dan syarat Qiyas
a.      Rukun Qiyas
Para ulama ushul fiqih menetapkan bahwa rukun Qiyas terdiri dari Empat macam yaitu: Asl (wadah hukum yang ditetapkan melalui nash dan ijma’), Far’u (Kasus yang akan ditetentukan hukumnya), Illat (Motivasi hukum), dan Hukm Al-Asl ( Hukum yang telah ditentukan oleh nash atau ijma’).
b.      Syarat-syarat Qiyas
1.      Syarat Hukum Asal
a.      Hukum asal hendaknya ditetapkan oleh Al-Qur’an
b.      Hukum asal itu hendaknya dapat diselami akal
c.       Hukum asal hendaknya bukan merupakan hukum khusus
2.      Syarat-syarat Fur’u
a.      Tidak ada nash dan ijma’ yang menetapkan hukum furu’ sebab apabila terdapat nash dan ijma’ yang bertentangan dengan qiyas.
b.      Antara furu’ dan asl harus sama illat hukumnya sehingga tidak menqiyaskan sesuatu dengan yang berbeda.





















Bagian 3
AL QURAN SEBAGAI
SUMBER HUKUM ISLAM
A. Kehujjahan alquran
Abdul Wahab Khallaf (Mardias Gufron, 2009) mengatakan bahwa “kehujjahan Al-Qur’an itu terletak pada kebenaran dan kepastian isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan atasnya”.  Hal ini sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
ذَالِكَ الْكِتَابُ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًىلِّلْمُتَّقِيْنَ
Artinya: “Kitab (Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (Q. S. Al-Baqarah, 2 :2).
Berdasarkan ayat di atas yang menyatakan bahwa kebenaran Al-Qur’an itu tidak ada keraguan padanya, maka seluruh hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an merupakan aturan-aturan Allah yang wajib diikuti oleh seluruh ummat manusia sepanjang masa hidupnya.
M. Quraish Shihab (Mardias Gufron, 2009) menjelaskan bahwa “seluruh Al-Qur’an sebagai wahyu, merupakan bukti kebenaran Nabi SAW sebagai utusan Allah, tetapi fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk bagi seluruh ummat manusia”.
1.      Dasar-Dasar Al-Qur’an dalam Membuat Hukum
Allah SWT menurunkan Al-Qur’an untuk dijadikan dasar hukum yang disampaikan kepada ummat manusia agar mereka mengamalkan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Pedoman Al-Qur’an dalam mengadakan perintah dan larangan-Nya adalah tidak memberatkan dan diturunkan secara berangsur-angsur.
2.      Al-Qur’an Tidak Memberatkan
Al-qur’an diturunkan tidak untuk memberatkan ummat manusia, sebagaimana firman-Nya:

يُرِيْدُاللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَوَلاَيُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Artinya: “Allah menghendaki kelonggaran bagimu dan tidak menghendaki kesempitan bagimu” (Q.S. Al-Baqarah, 2:185).
3.      Al-Qur’an Turun Secara Berangsur-Angsur
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun, yaitu 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah. Hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara berangsur-angsur, antara lain:
  1. Agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan.
  2. Turunnya Al-Qur’an berdasarkan suatu kejadian tertentu akan lebih mengesankan dan berpengaruh di hati.
  3. Memudahkan dalam menghafal dan memahaminya.

B. AZBABUN NUZUL
Asbabun Nuzul didefinisikan “sebagai suatu hal yang karenanya al-qur’an diturunkan untuk menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”, asbabun nuzul membahas kasus-kasus yang menjadi turunnya beberapa ayat al-qur’an,
Untuk menafsirkan qur’an ilmu asbabun nuzul sangat diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan dalam bidang ini, yaitu yang terkenal diantaranya ialah Ali bin madani, guru bukhari, al-wahidi , al-ja’bar , yang meringkaskan kitab al-wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu, syikhul islam ibn hajar yang mengarang satu kitab mengenai asbabun nuzul.
Pedoman dasar para ulama’ dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pembaritahuan seorang sahabat mengenai asbabun nuzul, al-wahidi mengatakan: “ tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab, kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya. Mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertian secara bersungguh-sungguh dalam mencarinya ”.
Para ulama’ salaf terdahulu untuk mengemukakan sesuatu mengenai asbabun nuzul mereka amat berhati-hati, tanpa memiliki pengetahuan yang jelas mereka tidak berani untuk menafsirkan suatu ayat yang telah diturunkan. Muhammad bin sirin mengatakan: ketika aku tanyakan kepada ‘ubaidah mengetahui satu ayat qur’an, dijawab: bertaqwalah kapada allah dan berkatalah yang benar.
Orang-orang yang mengetahui mengenai apa qur’an itu diturunkan telah meninggal. Maksudnya: para sahabat, apabila seorang ulama semacam ibn sirin, yang termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan bahwa seseorang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul.
Oleh sebab itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul.
Al-wahidi telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul, bahkan dia (Al-wahidi ) menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan: “ sekarang, setiap orang suka mangada-ada dan berbuat dusta; ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat”.
1.    Macam-Macam Asbabun Nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul dapat dibagi kepada ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu ) dan ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu ). sebab turun ayat disebut ta’addud karena wahid atau tunggal bila riwayatnya hanya satu, sebaliknya apabila satu ayat atau sekelompok ayat yang turun disebut ta’addud al-nazil.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat-ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat ini harus diteliti dan dianalisis, permasalahannya ada empat bentuk: Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan lainnya tidak. Kedua, keduanya shahih akan tetapi salah satunya mempunyai penguat ( Murajjih ) dan lainnya tidak. Ketiga, keduanya shahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat ( Murajjih ). Akan tetapi, keduanya dapat diambil sekaligus. Keempat, keduanya shahih, tidak mempunyai penguat ( Murajjih ) dan tidak mungkin mengambil keduanya sekaligus.

2.    Pengetahuan Tentang Asbabun Nuzul

Perlunya mengetahui asbabun nuzul, al-wahidi berkata:” tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat al-qur’an tanpa mangetahui kisahnya dan sebab turunnya ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna al-qur’an”. Ibnu taimiyah berkata: mengetahui sebab turun ayat membantu untuk memahami ayat al-qur’an. Sebab pengetahuan tentang “sebab” akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).
Namum sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua al-qur’an harus mempunyai sebab turun, ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus diketahui sehingga, tanpa mengetahuinya ayat tersebut bisa dipahami, ahmad adil kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat al-qur’an melalui tiga cara:
  1. Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi.
  2. Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.
  3. Ketiga ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua kelmpok;
  4. Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui ( hukum ) karena asbabun    nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
  5. Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-qur’an).
Kebanyakan ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang khusus, namun ini tidak benar bahwa semua ayat-ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya, bagaimanpun sebagian kisah al-qur’an tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab turunnya.

3.    Faedah Asbabun Nuzul
  1. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui al-qur’an.
  2. Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.
  3. Dapat menolak dugaan adanya Hasr ( pembatasan ).
  4. Dapat mengkhususkan (Takhsis) hokum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
  5. Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hokum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya ( yang mengkhususkannya ).
  6. Diketahui ayat tertetu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah.
  7. Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.







Bagian 4
Sunnah sebagai sumber dan dalil hukum islam

A.    Pengertian Sunnah
Sunnah menurut bahasa: ialah jalan yang dilalui sama ada terpuji atau tidak; juga suatu adat yang telah dibiasakan walaupun tidak baik. RasulSAW bersabda:

"Sungguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga sekiranya mereka memasuki lubang dab (serupa binatang biawak) niscaya kamu memasukinya juga." (Hadith riwayat Muslim)

"Barangsiapa menjalani suatu sunnah (perjalanan) yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala yang mengerjakan dengannya hingga hari qiamat, dan barangsiapa mengadakan suatu sunnah (perjalanan) yang jahat (buruk) maka atasnya dosanya dan dosa orang yang mengerjakan dengannya hingga hari qiamat." (Hadith riwayat Bukhari & Muslim)

Jelaslah bahwa menurut hadith tersebut, perkataan sunnah itu diertikan dengan perjalanan, sama ada baik atau pun yang jahat, sebagaimana yang dimaksudkan oleh bahasa.

Sunnah menurut istilah ahli hadith: ialah segala yang dipindahkan dari nabi sallallahu 'alayhi wa sallam baik yang merupakan perkataan, perbuatan, mahupun yang merupakan taqrir, sebelum nabi dibangkitkan menjadi rasul, mahupun sesudahnya. Kebanyakan ahli hadith menetapkan bahawa pengertian yang demikian sama dengan pengertian hadith.

Sunnah menurut pengertian dan istilah ahli usul: ialah segala yang dipindahkan dari nabi sallallahu 'alayhi wa sallam sama ada perkataannya dan perbuatannya, mahupun taqrirnya yang bersangkutan dengan hukum.

Inilah pengertian yang dimaksudkan oleh sabdanya ini:

"Sesungguhnya aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara tidak akan kamu sesat selama kamu berpegang dengan keduanya: iaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasulnya". (Hadith riwayat Malik)

1.            Contoh sunnah (hadith) perkataan ialah:

"Segala 'amal itu dengan niat." [Riwayat Bukhari, Muslim dan sekelian ulama' hadith]

2.            Contoh sunnah (hadith) perbuatan ialah:

"Bersembahyanglah kamu sebagaimana kamu melihat aku bersembahyang." [Riwayat Bukhari dan Muslim]

3.            Contoh hadith (sunnah) taqrir. Taqrir ialah: (a) Nabi SAW membenarkan apa yang diperbuat oleh seorang sahabat dengan tidak mencegah atau menyalahkan serta menunjukkan keredaannya; (b) menerangkan kebagusan yang diperbuat itu serta dikuatkan pula.

Contoh yang pertama ialah sebagaimana Nabi saw membenarkan ijtihad para sahabat mengenai urusan sembahyang 'Asar di Bani Quraizah dengan sabdanya:

"Jangan bersembahyang seorang kamu melainkan di Bani Quraizah." [Riwayat Bukhari]

Sebahagian sahabat memahamkan perkataan itu menurut hakikat larangannya lalu menta'khirkan sembahyang 'Asar itu sampai selepas Maghrib. Dan ada sebahagian yang lain tidak memahamkan demikian, mereka memahamkan bahawa yang dimaksudkan nabi bercepat-cepat pergi ke Bani Quraizah. Kerana itu mereka mengerjakan sembahyang 'Asar pada waktunya, sebelum tiba ke Bani Quraizah.

Kedua-dua perbuatan sahabat yang berlainan oleh berlainan ijtihad sampai kepada Nabi saw beritanya, dan Nabi saw tinggal berdiam diri tidak membantah apa-apa.

Contoh yang kedua sebagaimana yang diriwayatkan bahawa Khalid bin Walid pernah memakan dab (serupa binatang biawak) kemudian dikemukakan orang kepada Nabi saw. Nabi saw sendiri enggan memakannya, maka bertanya sebahagian sahabat:

"Adakah diharamkan makannya ya Rasulullah? Lalu ia bersabda: Tidak! Cuma binatang itu tidak ada di negeri kaumku, kerana itu aku tidak gemar kepadanya."

Selanjutnya pernah juga dinamakan sunnah itu suatu yang ditunjuki oleh dalil syara', baik berdasarkan dalil Qur'an atau pun berdasarkan hadith, mahu pun berdasarkan ijtihad para sahabat, seperti mengumpulkan mashaf (Qur'an) dan menyuruh manusia membaca menurut suhuf 'Uthman, dan seperti membukukan ilmu (menyusun dan mengarangnya).

Lawan dari sunnah ini ialah bid'ah, inilah yang dimaksudkan oleh hadith:

"Berpeganglah kamu sungguh-sungguh dengan sunnahku dan sunnah khalifah-khalifah yang mendapat pertunjuk sesudahku." [Abu Daud & Tarmizi]

Sementara itu ulama' fiqh berpendapat, bahawa suatu yang diterima dari Nabi saw dengan tidak difardukan dan tidak diwajibkan dinamakan sunnah. Imbangannya ialah wajib, haram, makruh dan mubah. Lawannya ialah bid'ah; talak yang dijatuhkan dalam haid menurut mereka dinamakan: talak bid'ah.

Ulama' Syafi'e mengatakan bahawa sunnah itu: ialah suatu yang dipahalai orang yang mengerjakannya, tidak disiksai orang yang meninggalkannya.

Menurut ulama' mazhab Hanafi, sunnah itu: ialah suatu yang disunnahkan Nabi saw atau para khalifah serta dikekalkan mengerjakannya, seperti azan dan berjama'ah
Pendapat yang benar bahwa yang dimaksud dengan Sunnah secara bahasa adalah thariqah atau metode, kebiasaan, perjalanan hidup atau perilaku baik jalan yang baik atau buruk, diantara dalilnya yaitu sabda Nabi Shalallahu’alaihi wassalam : “Barangsiapa yang mencontohkan dalam Islam sunnah yang baik, maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya. Barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang jelek, maka atasnya dosa dan dosa orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim)
As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam bentuk qaul (ucapan), fi’il (perbuatan), taqrir (penetapan), sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri (pensyariatan) bagi ummat Islam.
secara bahasa berarti 'cara yang dibiasakan' atau 'cara yang terpuji'. Sunnahlebih umum disebut hadis, yang berarti: = dekat, = baru, = berita.Secara istilah menurut ulama ushul fiqh:
“Semua yang bersumber dari Nabi saw. selain Alquran baik berupa perkataan,perbuatan atau persetujuan.

2. Kehujjahan Sunnah
Dalil-dalil yang menetapkan Sunnah dapat jadi hujjah sebagai sumber hukum:
a.      Dalil Alquran, misalnya dalam Ali Imran: 32:

b.      Dalil Al-Sunnah, di antaranya :

c.       Ijma Shahabat. Setelah wafatnya Rasulullah saw, para sahabat jika mendapatkan satupermasalahan, mereka mencarinya dari Alquran, dan jika tidak mendapatkan dariAlquran, mereka bertanya kepada sahabat lain mungkin di antara mereka ada yang hafaldan ingat. Kemudian hal tersebut dijadikan ketetapan hukum sesuai yang disampaikansahabat kepadanya. Hal ini dilakukan oleh Abu Bakar, juga Umar bin Khatab dan parasahabat lain serta para Tabi'in. Tidak ada seorang pun dari antara mereka yang menolak dan mengingkari bahwa sunnah Rasulullah wajib diikuti.

d.     Logika. Alquran memerintahkan kepada manusia beberapa kewajiban, pada umumnyabersipat global, tidak terperinci baik caranya maupun syarat-syaratnya. Hal ini perlupada penjelasan sehingga tidak salah dalam melaksanakannya, maka kehadiran sunnahmerupakan penjelas terhadap kemujmalan Alquran.
3.  Kedudukan Al-Sunnah terhadap Alquran
a.      Sebagai Muaqqid. Yaitu menguatkan hukum suatu peristiwa yang telah ditetapkanAlquran, dikuatkan dan dipertegas lagi oleh Al-Sunnah.

b.      Sebagai Bayan. Yaitu al-Sunnah menjelaskan terhadap ayat-ayat Alqur,an yang belumjelas, dalam hal ini ada tiga hal :1) Memberikan perincian terhadap ayat-ayat Alquran yang masih mujmal, misalnyaperintah shalat dalam Alquran yang mujmal, diperjelas dengan Sunnah. 2) Membatasi kemutlakan (taqyid al-muthlaq). Misalnya, Alquran memerintahkanberwasiat, dengan tidak dibatasi berapa jumlahnya. Lalu Al-Sunnah membatasinya.3) Mentakhshishkan keumuman. Misalnya, Alquran mengharamkan tentang bangkai,darah dan daging babi, kemudian al-Sunnah mengkhususkan dengan memberikanpengecualian kepada bangkai ikan laut, belalang, hati dan limpa.4) Menciptakan hukum baru. Misalnya, Rasulullah melarang untuk binatang buas danyang bertaring kuat, dan burung yang berkuku kuat, dimana hal ini tidak disebutkandalam Alquran.


4. Macam-macam Sunnah
a.      Sunnah Qauliyah. Sunnah Qauliyah ini sering juga dinamakan khabar, atau berita berupa perkataan Nabisaw. yang didengar atau disampaikan oleh seorang atau beberapa orang sahabat kepadayang lain.Sunnah Qauliyah dapat dibedakan kepada tiga hal :1) Diyakini benarnya, seperti khabar yang datang dari Allah dan dari Rasulullahdiriwayatkan oleh orang yang dipercaya dan khabar mutawatir. 2) Diyaniki dustanya, seperti dua berita yang berlawanan dan berita yang menyalahiketentuan-ketentuan syara. 3) Yang tidak diyakini benarnya, dan juga tidak diyakini dustanya, hal ini ada tiga: a) Tidak kuat benarnya dan tidak kuat pula dustanya.b) Khabar yang lebih dikuatkan benarnya daripada dustanya.c) Khabar yang lebih dikuatkan dustanya daripada benarnya.
b.      Sunnah Fi'liyah Yaitu setiap perbuatan yang dilakukan Nabi saw. yang diketahui dan disampaikan oleh sahabat kepada orang lain. Sunnah fi'liyah terbagi kepada beberapa bentuk, ada yang harusdiikuti oleh umatnya, dan ada yang tidak harus diikuti, yaitu: 1) Gharizah atau Nafsu yang terkendalikan oleh keinginan dan gerakan kemanusiaan. Sunnah fi'liyah ini menunjukkan tidak ada kewajiban untuk diikuti (bersifat mubah). 2) Sesuatu yang tidak berhubungan dengan Ibadah, yang oleh sebagian ahli ushul disebut al-Jibilah. Ini lebih pada urusan keduniaan, budaya dan kebiasaan Padabagian ini tidak ada perintah untuk diikuti dan diperhatikan. Jumhur ulamamemandangnya kepada jenis Mubah. 3) Perangai yang membawa kepada syara' menurut kebiasaan yang baik dan tertentu. Ini lebih dari sekedar urusan jibilah, tapi sebawah dari urusan al-qurbah / ibadah. 4) Sesuatu yang bersifat khusus bagi Nabi saw. dan tidak boleh diikuti oleh umatnya. Adapun urusan al-Qurbah ibadah yang bersifat umum tidak hanya bagi Nabi saw,itu harus diikuti oleh orang muslim. 5) Apa yang dilakukan Nabi saw. berupa penjelasan terhadap sesuatu yang bersifatmujmal/samar tidak jelas. Maka hukumnya sama dengan hukum mujmal tersebut. 6) Apa yang dilakukan Nabi saw. menjelaskan akan kebolehan / jawaz. 
c.       Sunnah Taqririyah Yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan Nabi saw. atausepengetahuan Nabi, namun Nabi diam dan tidak mencegahnya, maka sikap diam dan tidak mencegahnya, menunjukan persetujuan Nabi. Hal ini karena kalau Nabi tidak setuju, tentuNabi tidak akan membiarkan sahabatnya berbuat atau mengatakan yang salah, karena Nabi itu Ma'sum (terjaga dari berbuan dan menyetujuan sahabat berbuat kemunkaran, karenamembiarkan dan menyetujuan atas kemunkaran sama dengan berbuat kemunkaran








Bagian 5
Ijmak sebagai  dalil
hukum islam

A.    Pengertian Ijma
            Secara etimologi , ijma (          ) mengandung dua arti:

1.      Ijma’dengan arti                   atau ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau keputusan berbuat sesuatu, ijma’ dalam artian pengmabilan eputusan itu dilihat dalam firman allah pada surat YUNUS (10):71:


            Karena itu bukanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah)sekutu – sekkutumu (untuk membinasakanku)….      
            Juga dapat dilihat dalam hadist Nabi yang berbunyi

Juga dapat dilihat dalam hadis nabi yang berbunyi:




Tidak ada puasa bagi orang yang tadak meniatkan puasa semenjak malam

2.      Ijma’dengan arti “sepakat”.ijma’dalam arti inidapat dilihat dalam qur’an surat YUSUF (12):15:




            Maka tatkala mererka membawanya dan sepakat memasukanya kedasar sumur

Pengertian ijma’ secara terminology yaitu kebulatan pendapat semua ahli ijtihad pada sesuatu masa atas seseuatu hukum syara’
            Penjelasan ta’arif ijma           :
  1. Kebullatan dapat terwujud, apabila pendapat seseorangf sama dengan pendapat orang – orang lainya.
  2. Apabila ada yang tiadak menyetujui maka tidak ada ijma’ , karena dengan demikian kebulatan pendapat yang sebenarnya tidak ada .hanya pendapat golongan  terbanyak bisa menjadi hujjah .
  3. Klaau pada sesuatu masa hanya terda[at seorang ahli ijthad, maka tidak ada ijma’, pendapat perseorangan tidak jauh dari kemungkinan salah.
  4. Kebulatan penadapat harus tampak nyata. Apakah denegann diam saja, terdsapat kebulatan? (soala ini akan dibicrakan dibelakang).
  5. Kebulatan pendapat orang – orang biasa tidak disebut ijma’.di persamakan denagn hokum – hukum syara’.seperti ahli teknik, ahli filsafat dan lain –lain.
  6.  Kebulatan penda[pat segolongan umat tiadak disebut ijma’. Yang dibicarakan disinilah, ialah ijma seluruh umat (ijma’ummah).

            Macam- macam ijma .’
            Ijma’ umat tersebut dibagi dua :

Macam- macam ijma .’
            Ijma’ umat tersebut dibagi dua :

1. Ijma Qauli : Yaitu suatu ijma,’ dimana para ahlli ijtihad mengeluarkan pendapatnya baik lisan maupun tulisan yang menerangkan persetujuanya atas pendapat mujtahid lain dimasanya.ijma’ inijuga disebut ijma’ qat’i.
2.ijma’sukuti : yaitu ijma.’diman  para ahli ijtihad diam , tiidak mengatakan pendapatnya.diam disini dianggap menyetujui.
               Menurut golongan hanafiyah kedua macam ijma’ tersebut adalah ijma’uang sebenarnya. Menurut imam Syafi’I hanya ijma’yang pertama saja yang disebut ijma’yang sebenarnya.
   Dismping ijma’ umat tersebiut, masih ada macam – macam ijma’ yang lain, yaitu:
1; ijma’ sahabat .
2. ijma’Khalifah yang empat.
3. ijma ‘ abu Bakar dan umar.
4.ijma’ ulama Madinah
5. ijma’ ulama Kufah dan basrah.
6. ijma’itrah (ahli bait = golongan Syiah)

SANDARAN IJMA’
Ijma’tidak dipandang sah, kecuali apabila ada sandaran sebabijam’bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri, Fatwa dalam urusan aga tanpa ada sandaran adalah salah.Sandaran tersebut adakalanya berupa dalil zhani yaitu hadist mutawir, ada kalanya ijma’itu hadis ahad, maka hadis ahad ini bertamabh kekuatanya  atau nilainya .
            Tentang qiyas masih mejadi perselisihan.apakah bia menjadi sandaran ijma’atau tidak
            Alas an yang membolehkan :
1.      Qiyas adalah salah satu jalan menetapkan hukum syara’. Karena      itu, qiyas dapat dijadikan sandaran ijam’sebagimana dalil – dalil yang lain.
2.      Terjadi  ijma’atas haramnya lemak babi karena diqiyaskan dengan dagingya
3.      Terjadi ijma’atas ke- khilafahan Abu Bakar karena diqiyaskan dengan keimananya dalam shalat (dijadikan imam shalat oelh nabi).

Alasan yang tidak membolehkan :
1.       Kalau terjadi ijma’berdasarkan Qiyas, tentullah seseorang mujtahid dapat menyanggahnya, sebab qiyas bisa disanggah. Menyanggah pokok, yaitu qiyas berarti pula menyanggah cabangya, yaitu ijma’.
2.       Para ulama tidak sepakat pendapatnya tentang kehujahan  ijam’. Seseorang yang tidak mengakui kehujaahn qiyas, tidak akan mengakui kehujahan ijma’.

KEHUJJAHAN IJMA’.
            Apabila sudah terjadi ijma’.  Maka ijma’itu menjadi hujjah yang qat’I. kebulatan penadapat segala mujtahid atas sesuatu hukum yang tertentu, meskipun berbeda lingkungan dan aliranya tanpa diragukan lagi menunjukan adanya satu kebenaran yang telah membwa ke bulatan pendapat mereka. Kebenaran tersebut ialah kerna cocoknya hukum itu dengan jwa syari’at dan dasar – dasarnya  yang umum.
            Kehujjahan ijma’ tersebut ditunjjkan oleh qur’an dan hadis.
Qur’an.





…wahai orang mukmin patuhlah kepada alllah, patuhlah kepada rasul , dan patuhlah kepada orang – orang yang memerintahkan diantara kamu ‘’.(an Nisa 59).

            Sudah disepakati, yang dimaksud dengan ULIL’ amalri,ialah para ulama.masing – masing bertuga dalam lapangnya sendiri – sendri.





,,umatku tidak bersepakat atas kesatuan ‘’.(hadis riwayat abu daud dan tarmidzi)




Kehujjahan Ijma’

Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).[15]














Bagian 6
qiyas sebagai  dalil
hukum islam

A.    Pengertian qiyas
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara’ dalam hal-hal yang nash Al-Qur’an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas
Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra’yu yaitu: penggunaan ra’yu yang masih merujuk pada nash dan panggunaan ra’yu secara bebas tanpa mengaitkannya pada nash.
Dasar pemikiran qiyas itu ialah ada kaitan yang erat antara hukum dengan sebab hamper dalam setiap hukum di luar bidang ibadat, dapat di ketahui alasan rasional ditetapkannya hukum itu oleh Allah. Alasan hukum yang rasional itu oleh ulama disebut ”illat”.
Pengertian qiyas menurut beberapa ulama
  1. Al-ghazali dalam al-mustashfa memberi defenisi qiyas:
menaggungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang di ketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanyaatau meniadakan hukum dari keduanya disebabkan adahal yang sama antara keduanya, dalam meneyapkan hukum atau peniadaan hukum.
  1. Qadhi abu baker mendefenisikan yang mirip dengan defenisi di atas:
Menanggunglkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang di ketahui dalam Hal menetapkan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum dari keduanya di sebabkan ada hal yang sama antara keduanya.
  1. Abu hasan al-bashri memberi defenisi:
Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu” karena keduanya sama dalam ‘illat hukum menurut mujtahid.
  1. Abu hasan al-bashri memberi defenisi:
Menghasilkan (menetapkan) hukum ashal pada “furu’” karena keduanya sama dalam illat hukum menurut mujtahit.

  1. Al-baidhawi mendefenisikan qiyas dengan:
Menetapkan semisal hukum yang di ketahui pada sesuatu yang lain yang di ketahui, karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum menurut pandangan ulama yang menetapkan.
  1. defenisi qiyas menurut shadru al-syari’ah:
merentangkan (menjangkaukan) hukum dari “ashal” kepada “furu” karena ada kesatuan ‘illat yang tidak mungkun di kenal dengan pemahaman lughawi semata.
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.[16]
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)

Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.[17]

B.     Kehujjahan qiyas

Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.[19]
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:

“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)

Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.[20]

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)

Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.[21]

Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.[22]

Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.

Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.[23]

Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.[24]
Para ulama tidak sama pendapatnya tentang kebolehan memegangi qiyas dalam hukum-hukum syari’at (qiyas syari’). Dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama:
Kebanyakan sahabat tabi’in dan fuqaha mengatakan, bahwa qiyas menjadi pegangan (hujjah). Alasan mereka iyalah dari Al-Qur’an dan hadits dan dalil akal pikiran.
1.      Dalil Qur’an
“maka ambillah i’tibar (pelajaran) wahai orang-orang yang mempunyai pemandangan “. (An hasyr 2).
I’tibar di ambil dari perkataan ubuur, yang artinya melewati (melampaui).
2.      Dalil hadits
“ketika mu‘az diutus nabi keyaman, maka nabi bertanya kepadanya: “dengan apa kamu memutusi perkara yang dating padamu?”berkata mu’az: saya memutusi dengan kitabullah(Qur’an). Berkata nabi kalau tidak kamu jumpai dalam kitabullah?. Berkata mu’az: dengan sunnah rasul (hadits). Berkata nabi: kalau tidak kamu dapati baik dalam kitabullah maupun sunnah rasul?. Mu’az menjawab saya akan berijtihad (berusaha) dengan akal fikiran saya. Maka rasulullah menepuk dada (karena girang) sambil berkata: “alhamdulillah, tuhan telah memberi petunjuk utusan rasul tuhan kepada apa yang di ridhai rasulullah”. (riwayat ahmad, abu daut, tarmidzi, dan lain-lain dari hadits mu’az).
Para ulama mengatakan, bahwa qiyas termasuk usaha dengan akal fikiran dan karenanya termasuk dalam hadits tersebut.
3.      Dalil akal
Nash-nash Qur’an demikian pula hadits nabi baik perkataannya, perbuatannya maupun taqrirnya, tidak cukup untuk memghadapi setiap peristiwa hukum, karena nash-nash Qur’an dan hadits terbatas, sedang peristiwa yang terjadi tiada habis-habisnya. Sudah barang tentu apa yang terbatas tidak mungkin bias menghadapi apa yang tidak terbatas.

Pendapat kedua:
            Daud dan ibnu hazm, kedua-duanya dari golongan zhahiriyah, mengatakan: “qiyas tidak menjadi hujjah”. Menurut pendapatnya, semua peristiwa sudah ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan hadits baik yang lansung di tujukan nash kat-katanya atau tidak, seperti isyarat nash (hukum yang tersirat) atau penunjukan nash (dalam nash fakhwa al-khitab), karena itu, kita tidak memerlikan qiyas.
Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1.      Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2.      Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.

3.      Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.[18]


C.     Syarast-syarat qiyas
a.   Maqis’alaih(tempat meng-qiyas-kan sesuatu kepadanya)
Dalam memberikan nama dalam maqis alaih itu tedapat beberapa pendapat. Ada yang menamakannya ashal (sesuatu yang di hubungkan kepadanya sesuatu yang lain). Ada yang menggunakan istilah (wadah/tempat yang pada wadah-wadah itu terdapat hukum yang akan disamakan kepada wadah lain).
b.   maqis (sesuatu yang akan di samakan hukumnya dengan ashal)
Untuk maqia ini kebanyakan ulama menggunakan kata “furu” (sesuatu yang di bangun atau hubungkan kepada sesuatu yang lain). Ada yang mengatakan maqis adalah (wadah yang hukumnya diserupakan dengan yang lain). Ada yang pula menyebutnya (hukum dari wadah yang di samakan).
c.    Hukum ashal
Hukum ashal adalah hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis ‘alaih yang di tetapakan hukumnya berdasarkan nash; dan hukum itu pula yang akan diberlakukan pada furu’.
Syarat bagi hukum ashal untuk dapat di rentangkan pada kasus lain (furu’) melalui qiyas adalah sebagai berikut:
1.      Hukum ashal itu adalah hukum syara’, karena tujuan dari qiyas syar’I adalah untuk mengetahui hukum syara’ pada furu’, baik dalam bentuk itsbat (adanya hukum) atau dalam bentuk naïf (tidak ada hukumnya) seandainya hukum ashal itu bukan hukum syara’, maka tujuan penggunaan qiyas tidak akan berhasil.
2.      Hukum ashal itu di tetapkan dengan nash, bukan dengan qiyas. Satu pendapat mengatakan, juga bukan ijma’. Alasan tidak bolehnya ashal di tetapkan dengan qiyas, karena berarti hukum ashal itupun pada mulanya merupakan furu’ dari qiyas yang lain.
3.      Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku; bukan hukum yang telah di nasakhkan, sehingga masih mungkin dengan hukum ashal itu membangun (menetapkan) hukum.
4.      Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas; karena bila menyimpang ketentuan qiyas, maka tidak mungkin meng-qiyas-kan sesuatu pada ashal itu, sebab dalam hukum ashal sepertiitu tidak ada daya rentang.
5.      Hukum ashal itu harus di sepakati oleh ulama; karena kalau belum disepakati tentu diperlukan usaha menetapkannya lebih dahulu bagi ulama yang tidak menerimanya.
6.      Dalil yang menetapkan hukum ashal, secara lansung tidak menjakau kepada furu’. Maksudnya hukum ashal yang menjangkau kepada furu’ adalah dalil hukum pada furu’ itu juga merupakan dalil hukum pada ashal.

Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
1.      Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2.      Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
3.      Hukum al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
4.      Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.[25]












Bagian 7
Istihsan  sebagai  dalil
hukum islam

Pengertian Istihsan
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya, pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara''.
Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara'' yang mengharuskan untuk meninggalkannya.Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.
Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
            Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-Syafi''i dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan keinginan hawa nafsu.
Imam Syafi''i berkata, "Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara'' berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang berhak menetapkan hukum syara'' hanyalah Allah SWT." Dalam buku Risalah Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan,

      Contoh ihtisan

"Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan nya.

      Kehujahan ihtiksan
Yang dimaksud dengan kehujahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Ushul Al-Fiqh Al-Islami, orang yang pertama kali berpegang dengan dalil-dalil ini diluar ‘ijma adalah Imam Asy-Syafi’I (w. 204 H) dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-Umm.


Kehujahan hadits sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy yang menuturkan tentang kenabian Mohammad saw. Selain itu, keabsahan hadits sebagai dalil juga ditunjukkan oleh nash-nash qath’iy yang menyatakan, bahwa beliau saw tidak menyampaikan sesuatu (dalam konteks syariat) kecuali berdasarkan wahyu yang telah diwahyukan. Semua peringatan beliau saw adalah wahyu yang diwahyukan. Oleh karena itu, hadits adalah wahyu dari Allah swt, dari sisi maknanya saja, tidak lafadznya. Hadits adalah dalil syariat tak ubahnya dengan al-Quran. Tidak ada perbedaan antara al-Quran dan Hadits dari sisi wajibnya seorang Muslim mengambilnya sebagai dalil syariat.

berfirman di dalam al-Qur'an:
Artinya:
"Dan Kami menurunkan kepada kamu adz-dzikr, agar engkau menjelaskan kepada manusia tentang apa yang telah diturunkan kepada mereka." (an-Nahl: 44)
Jika sekiranya, hadits itu bukan merupakan hujah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an Sabda Nabi SAW ;
Artinya: "Ingat! Bahwa saya diberi al-Quran dan yang seperti al-Quran (Hadits)." (H.R. Abu Daud).

Karena itu, hadits, baik ia menjelaskan al-Qur'an atau berupa penetapan sesuatu hukum, umat Islam wajib mentaatinya  apabila kita teliti, hadits terhadap al-Qur'an, dapat berupa menetapkan dan mengokohkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur'an, atau berupa penjelasan terhadap al-Qur'an, menafsiri serta memperincinya, atau juga menetapkan sesuatu hukumyang tidak terdapat di dalam al-Qur'an.

Menurut para pakar-pakar
 Hal ini juga dikemukakan oleh Imam asy-Syafi'i di dalam ar-Risalahnya. Jika sekiranya, hadits itu bukan merupakan hujah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an, sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi''i.
Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi''i, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. yang lebih enak.





















Bagian 8
MASHALIH MURSALAH sebagai  dalil hukum islam

A.    DEFINISI DAN SYARATNYA
Mashlahah Mursalah ialah kebaikan (mashlahah) yang tidak di singgung-singgung syara’, untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang kalau dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindari keburukan.
Berdasarkan istqra’ (penelitian empiris) dan nash-nash al-Qur’an maupun hadits diketahui bahwa hukum-hukum syari’at Islam mencakup di antaranya pertimbangan kemaslahatan manusia.
Allah SWT berfirman:
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ  
Artinya :   “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”                                 (Q.S. Al-Anbiya : 107)

Maslahat ini dapat ditangkap jelas oleh orang yang mempunyai mau berfikir (intelektual), meskipun bagi sebagian orang masih dirasa samar atau mereka berbeda pendapat mengenai hakekat maslahat tersebut. Perbedaan persepsi tentang maslahat itu sebenarnya bermula dari perbedaan kemampuan intelektualitas orang-perorang sehingga tidak diketemukan hakekat maslahat yang esensial yang terdapat dalam hukum Islam, atau terpengaruh oleh keadaan yang bersifat temporal, atau diambil berdasarkan pandangan yang bersifat lokalistik atau personal, sebagaimana sebagaian orang yang menganggap adanya maslahat tentang diperbolehkannya mengambil ‘bunga’ (tambahan atas pinjaman). Akibatnya, kebolehan mengambil bunga itu dilakukan secara berlebihan (melampaui batas) dan menjadi gejala fenomenal di tengah masyarakat. Mereka beranggapan bahwa bunga tidak termasuk ke dalam pengertian umum tentang riba yang diharamkan berdasarkan nash al-Qur’an.
Maslahat yang Mu’tabarah (dapat diterima) ialah maslahat-maslahat yang bersifat hakiki, yaitu meliputi lima jaminan dasar.
1.      Keselamatan keyakinan agama,
2.      Keselamatan jiwa,
3.      Keselamatan akal,
4.      Keselamatan keluarga dan keturunan,
5.      Keselamatan harta benda.

Kelima jaminan dasar itu merupakan tiang penyangga kehidupan dunia agar umat manusia dapat hidup aman dan sejahtera.
Jika memang kemaslahatan manusia adalah yang menjadi tujuan Syar’i, maka sesungguhnya hal itu terkandung di dalam keumuman syari’at dan hukum-hukum yang ditetapkan Allah. Dalam konteks kemaslahatan duniawi yang dihubungkan dengan nash-nash syara’, para ahli fiqh (fuqaha’) terbagi dalam ketiga golongan.
Golongan Pertama, berpegang teguh pada ketentuan nash. Golongan ini memahami nash hanya dari segi lahiriyahnya semata (tekstual) dan tidak berani memperkirakan adanya maslahat di balik suatu nash.
Golongan Kedua, mencari kemaslahatan dari nash yang diketahui tujuannya dari ‘illatnya. Karenanya, mereka menqiaskan setiap kasus yang jelas mengandung suatu maslahat, dengan kasus lain yang jelas ada ketetapan nashnya dalam maslahat tersebut.
Golongan ketiga, menetapkan setiap maslahat harus ditempatkan pada kerangka kemaslahatan yang ditetapkan oleh syari’at Islam, yaitu dalam rangka terjaminnya keselamatan jiwa, keyakinan agama, keturunan, akal dan harta benda.
Maslahat Mursalah atau Istishlah ialah maslahat-maslahat yang bersesuaian dengan tujuan-tujuan syari’at Islam, dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat melegitimasi atau membatalkan maslahat tersebut.
Imam Malik adalah Imam Madzhab yang menggunakan dalil Maslahat Mursalah. Untuk menerapkan dalil ini, ia mengajukan tiga syarat yang dapat dipahami melalui definisi di atas, yaitu :
1.      Adanya persesuaian antara maslahat yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at (maqashid as-syari’ah). Dengan adanya persyaratan ini, berarti maslahat tidak boleh menegasikan sumber dalil yang lain, atau bertentangan dengan dalil yang qat’iy. Akan tetapi harus sesuai dengan maslahat-maslahat yang memang ingin diwujudkan oleh Syar’i.
2.      Maslahat itu harus masuk akal (rationable), mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional, di mana seandainya diajukan kepada kelompok rasionalis akan dapat diterima.
3.      Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang mesti terjadi (raf’u haraj lazim). Dalam pengertian, seandainya maslahat yang dapat diterima akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.

Syarat-syarat di atas adalah syarat-syarat yang masuk akal yang dapat mencegah penggunaan sumber dalil ini (maslahat mursalah) tercerabut dari akarnya (menyimpang dari essensinya) serta mencegah dari menjadikan nash-nash tunduk kepada hukum-hukum yang dipengaruhi hawa nafsu dan syahwat dengan Maslahat Mursalah.

B.     KEHUJAHAN MASHALIH MURSALAH
Golongan Maliky sebagai pembawa bendera Maslahat Mursalah, sebagaimana telah disebutkan, mengemukakan tiga alasan sebagai berikut :
1.      Praktek para sahabat yang telah menggunakan Maslahat Mursalah
2.      Adanya Maslahat sesuai dengan maqasid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i), artinya dengan mengambil maslahat berarti sama dengan merealisasikan maqasid as-Syar’i. sebaliknya mengesampingkan maslahat berarti mengesampingkan maqasid as-Syar’i. sedang mengesampimgkan maqasid as-Syar’i adalah batal. Oleh karena itu wajib menggunakan dalil maslahat atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. Sumber hukum ini tidak keluar dari ushul (sumber-sumber pokok), bahkan terjadi sinkronisasi antara maslahatt dan maqasid as-Syar’i.
3.      Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat selama berada dalam konteks maslahat-maslahat syar’iyyah, maka orang-orang mukallaf akan mengalami kesuliatan dan kesempitan. Allah SWT berfirman:
ÞOn=÷ètƒ $tB šú÷üt/ öNÍgƒÏ÷ƒr& $tBur öNßgxÿù=yz 3 n<Î)ur «!$# ßìy_öè? âqãBW{$# ÇÐÏÈ  
Artinya :  “Dia tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj : 76)

Demikianlah alasan-alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik. Adapun alasan-alasan dari golongan yang tidak memakai dalil maslahat, dapat teringkas ke dalam empat hal sebagai berikut:
1.      Maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah pada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan nafsu yang cenderung mencari keenakan. Padahal tidak demikian halnya prinsip-prinsip syari’at Islam. Dalam menjelaskan alasan tersebut dalam kaitannya dengan ihtihsan dan Maslahat Mursalah, Imam al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya kita tahu dan yakin bahkan pada hawa nafsu dan syahwat tanpa memandang indikasi dari beberapa dalil. Istihsan tanpa memperhitungkan dalil-dalil syara’ adalah hukum yang didasarkan pada hawa nafsu semata.” Khusus mengenai Maslahat Mursalah ia berkata : “Maslahat Mursalah jika tidak ditopang oleh Syar’i (adanya dalil syara’) kedudukannya sama dengan Istishan.”
2.      Maslahat andaikan dapat diterima (mu’tabarah), ia termasuk ke dalam kategori qiyas dalam arti luas (umum); andaikan tidak mu’tabarah, maka ia tidak tergolong qiyas. Adalah tidak bias dibenarkan suatu anggapan yang mengatakan bahwa pada suatu masalah terdapat maslahat mu’tabarah sementara maslahat itu tidak termasuk ke dalam nash atau qiyas. Sebab pandangan semacam itu akan membawa ke suatu kesimpulan tentang teerbatasnya nash-nash al-Qur’an atau hadits Nabi dalam menjelaskan syari’at dengan kenyataan tabligh yang telah diperankan oleh Nabi SAW serta bertentangan dengan sabdanya.
3.      Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat kepada suatu penyimpangan dari hukum syari’at dan tindakan kelaliman terhadap rakyat dengan dalil maslahat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian raja-raja yang lalim. Dalam hubungan ini Ibnu Taimiyah berkata: “Hal tersebut ditinjau dari segi kemaslahatan akan menimbulkan kegoncangan besar dalam urusan agama. Sejumlah besar dan masyarakat melihat adanya maslahat lalu menjalankannya, berdasarkan pada prinsip tersebut (mengambil maslahat tanpa berpegang pada nash). Di antara maslahat-maslahat itu kadangkala sebenarnya merupakan larangan syara’ yang tidak diterima atau diketahui; kadangkala mereka mengajukan dalam maslahat mursalah ungkapan (kalam) yang berlawanan dengan nash.
4.      Seandainya kita memakai maslahat sebagai sumber hukum pokok yang berdiri sendiri, niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan Negara, bahkan perbedaan pendapat perorangan dalam satu perkara. Di suatu Negara, perkara tersebut tergolong haram karena dipandang mengandung kemadharatan, sementara di Negara lain tergolong halal karena dipandang mengandung manfaat. Atau, haram karena mengandung madharat menurut sebagian orang, dan halal menurut sebagian orang yang lain. Padahal tidak demikian seharusnya syari’at yang berlaku universal, sepanjang zaman.

C.     MENETRALISIR PERTENTANGAN PENDAPAT
Jumhur fuqaha’ sepakat bahwa Maslahat dapat diterima dalam fiqh Islam. Dan, setiap maslahat wajib diambil sebagai sumber hukum selama bukan dilatarbelakangi oleh dorongan syahwat dan hawa nafsu dan tidak bertentangan dengan nash serta maqasid as-Syar’i (tujuan-tujuan syar’i). Hanya saja golongan Syafi’iyah dan Hanafiyah sangat memperketat ketentuan maslahat. Maslahat harus mengacu pada qiyas yang mempunyauu ‘illat yang jelas batasannya (mundhabithah) yang mengandung esensi maslahat, meskipun kemaslahatan terkadang tidak mengandung ‘illat dalam kondisi tertentu. Golongan Maliki dan Hanbali berpendapat, bahwa sifat munasib yang merupakan alasan adanya maslahat, meskipun tidak jelas batasannya, patut menjadi ‘illat bagi qiyas. Kalau memang demikian – sifat munasib layak dijadikan ‘illat – maka berarti Maslahat Mursalah termasuk kedalam macam qiyas. Oleh karena itu, ia bias diterima sebagai sumber hukum sebagaimana halnya diterimanya qiyas berdasarkan sifat munasib, yaitu hikmah, tanpa memandang apakah ‘illat itu mundhabithah atau tidak. Karena begitu dekatnya pengertian sifat munasib dan maslahat mursalah sehingga sebagian ulama Madzhab Maliky menganggap bahwa sesungguhnya semua ulama ahli fiqh memakai dalil Maslahat, meskipun mereka menamakannya sifat munasib, atau memasukkannya ke dalam bagian qiyas. Dalam hal ini Imam al-Qarafy berkata :
“Maslahat Mursalah bila diselidiki ternyata terdapat pada seluruh madzhab. Sebab mereka ada yang menggunakan pendekatan qiyas dan ada yang menggunakan pendekatan sifat munasib yang tidak menganggap perlu adanya dalil. Padahal sebenarnya itulah yang dimaksud dengan maslahat mursalah. Diantara yang menguatkan diterapkannya dalil maslahat mursalah ialah praktek-praktek para sahabat dalam berbagai hal karena alasan maslahat secaa mutlak, bukan karena adanya dalil yang menunjukkan hukum mengenai hal tersebut. Contoh praktek sahabat di atas seperti penulisan mushaf al-Qur’an yang tidak dilakukan di zaman Nabi; penggantian khalifah berdasarkan wasiyat dari Abu Bakar kepada Umar dimana belum pernah diterapkan pada masa sebelumnya yang karenanya prinsip musyawarah ditinggalkan; pembentukan lembaga-lembaga pemerintah; pencetakan mata uang bagi kaum muslimin; pembuatan rumah tahanan; dan penggunaan tanah waqaf yang ada di depan masjid Rasulullah SAW untuk pelebaran masjid ketika dirasakan sudah terlalu sempit, yang dilakukan oleh Khalifah Utsman bin Affan RA”.
Anggapan sebagian ulama Madzhab Maliki di atas, yakni bahwa golongan Syafi’iyah dan Hanafiyah memakai dalil maslahat mursalah, perlu ditinjau kembali. Masalah ini banyak dibicarakan di berbagai kitab. Iman Asnawi menuturkan hal itu dengan beberapa catatan, begitu pula Imam Syathibi menguraikan dalam salah satu kitabnya. Berkenaan dengan Maslahat Mursalah, para ulama mengemukakan empat pandangan; sebagai berikut:
Pertama, menolah maslahat mursalah selama tidak berdasarkan kepada sumber pokok (aslh) yang kuat (al-Qur’an dan Hadits). Maka jika berdasarkan kepada aslh yang kuat, maka ia termasuk qiyas.
Kedua, Maslahat Mursalah dapat diterima selama sesuai dengan maqasid as-Syar’i dan tidak bertentangan dengan ashl yang tsabit (kuat). Maslahat-maslahat yang boleh diterima bisa terbebas dari berbagai qayd (batasan), kecuali dua qayd tersebut.
Ketiga, Maslahat Mursalah diterima apabila mendekati makna dari ashl tsabit (sumber pokok yang kuat/Qur’an dan Hadits), meskipun secara langsung tidak bersandarkan kepada sumber pokok yang berdiri sendiri.
Keempat, pendapat al-Ghazali: bahwa “Maslahat Mursalah diterima apabila merupakan dharurat yang pasti (qath’iy)”.
Demikian beberapa pandangan tentang dimasukkannya maslahat dalam Islam sebagai salah satu sumber istidlah dan metode untuk menetapkan hukum Islam. Sebagaimana telah diterangkan, bahwa maslahat mursalah dibatasi dengan qayd (kalifikasi) tertentu, sehingga ia tidak tercabut dari akar syari’at dan tidak mengesampingkan nash-nash yang qath’i.


































Bagian 9
Ijtihad dan tingkatannya



A.    MUJTAHID
1.      Pengertian Ijtihad
Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
2.      Tujuan ijtihad
Untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
3.      Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

B.     SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Setelah menyoalkan tentang pengertian Ijtihad, sekarang kita alihkan ke persoalan syarat-syarat mujtahid, Secara umum ulama ushul fiqh menyatakan bahwa syarat-syarat mujtahid ada lima yakni :
1.      Harus mengetahui Al-qur’an dan sunnah, maka tidak mengetahui salah satuya maka ia tidak layak di sebut mujtahid. Bahkan tidak sedikit ulama mengaharuskan bahwa seseorang bolah menjadi mujtahid, bila ia menguasi 500 ayat yang mengenai hokum dan 5000 hadits Rasulullah.
2.      Mengetahui tentang Ijma’. Ijma’ adalah sumber hukum yang ketiga. Karena itu seorang mujtahid harus paham apa saja yang telah disepakati oleh Ijma’ ulama. Jika ia menyalahi Ijma’ tentunya ia akan menyalahi Al-qur’an dan sunnah.
3.      Mengetahui bahasa arab dan tata bahasanya. Fungsinya agar tidak salah memahami maksud dari firman Allah dan Hadits Rasulullah.
4.      Menguasai ilmu ushul fiqh dengan benar-benar memumpuni. Pasalnya tidak bisa melakukan Istinbat hukum jika tidak menguasi ilmu ushul fiqh . segala permasalah baru di klaim sebagai furu’ yang harus kepada ashal yang memiliki sandaran hukum dari Al-qur’an dan sunnah.
5.      Mengetahui Nasikh dan Mansukh. Fungsinya adalah agar tidak mengeluarkan hukum berdasarkan dalil yang telah di manshukhkan

C.    PEMBAGIAN-PEMBAGIAN MUJTAHID
Pada prinsipnya pembagian mujtahid menjadi dua—ahl al-hadîts dan ahl ar-ra’yi— kembali pada adanya sebagian fukaha (ahli fikih) yang giat mencari dasar-dasar yang menjadi landasan istinbâth. Mereka kemudian memberi penjelasan bahwa hukum-hukum syariat dapat dijangkau maknanya oleh akal, yaitu diturunkan untuk menyelesaikan seluruh problem manusia, merealisasikan seluruh kemaslahatan bagi mereka, serta menolak segala kerusakan dari mereka. Karena itu, nash harus dipahami dengan pemahaman yang luas, yang mencakup semua unsur yang ditunjukkan oleh ‘ibarat (ungkapan)-nya. Berdasarkan patokan ini, manusia dapat memahami nash-nash dan melakukan analisis (tarjîh) terhadap satu nash atas nash yang lain.
Kemudian mereka dapat melakukan istinbâth (penggalian hukum) atas nash-nash tersebut jika suatu masalah tidak terdapat di dalam nash.
Sementara itu, para fukaha yang lain memperhatikan (menyelidiki) hapalan khabar (hadis) ahad dan fatwa-fatwa para sahabat. Lalu mereka mengarahkan istinbâth mereka ke arah pemahaman bahwa khabar dan atsar tersebut harus dalam batasan nash-nashnya, yang kemudian diterapkan pada berbagai peristiwa yang terjadi. Dari sinilah munculnya perbedaan mengenai patokan nash-nash sebagai dalil-dalil syariat.
Memang dijumpai kecaman terhadap penggunaan ar-ra’yu. Dalam Shahîh al-Bukhârî disebutkan bahwa ‘Urwah bin Zubair pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا      
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu secara langsung setelah diberikannya kepada hamba-hambanya. Akan tetapi, Dia akan mencabutnya dengan cara mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak ada seorang ulama pun (di tengah-tengah manusia), orang-orang menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin mereka. Mereka diminta fatwanya lalu mereka memberikan fatwa tanpa didasarkan pada ilmu. Mereka itu adalah sesat dan menyesatkan”. (HR al-Bukhari).
Sementara itu, ‘Auf bin Malik al-Asyja’i menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
تَفْتَرِقُ أُمَتِيْ عَلَى بِضْعٍ وَ سَبْعِيْنَ فِرْقَةً أَعْظَمُهَا فِتْنَةً قَوْمٌ يَقِيْسُوْنَ الدِّيْنَ بِرَأْيِهِمْ يُحَرِّمُوْنَ بِهِ مَا أَحَلَّ اللهُ وَيُحِلُّوْنَ مَا حَرَّمَ اللهُ                                                                 
“Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh satu golongan. Yang paling besar fitnahnya adalah suatu kaum yang selalu meng-qiyâs-kan agama dengan pendapat (ra’yu)-nya. Mereka mengharamkan dengan pendapatnya apa yang dihalalkan Allah dan menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah”.
Ibn ‘Abbas juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:                                            قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار                
‘Siapa saja yang berbicara mengenai al-Quran tanpa didasarkan pada ilmu, maka dia akan menempati tempat duduknya (yang terbuat) dari api neraka”. (HR Ahmad).
Hadis-hadis di atas memang menegaskan celaan terhadap ra’yu (pendapat). Akan tetapi, yang dimaksud dengan ar-ra’yu di sini adalah penafsiran yang bertumpu pada ilmu. Sebaliknya, yang dimaksud dengan pendapat (ra’yu) yang tercela (yang ada pada hadis-hadis di atas) adalah perkataan berkedok syariat tanpa sanad dan tanpa ilmu. Karena itu, berkaitan dengan pendapat yang bersandar pada prinsip-prinsip syariat, hadis-hadis dan atsar-atsar yang ada menunjukkan bahwa hal itu adalah hukum syariat dan bukan pengambilan pendapat (ra’yu) yang dicela.
Nabi saw. membolehkan seorang hakim untuk berijtihad dengan pendapatnya. Kesalahannya dalam berijtihad bahkan tetap memperoleh satu ganjaran (pahala) apabila tujuannya untuk mengetahui dan mengikuti kebenaran. Nabi saw. juga memuji sikap Mu‘adz, sebagaimana riwayat berikut:
«أَنَّ رَسُولَ اللهِ r بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَقْضِي فَقَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللهِ rقَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللهِ                                      َ أَجْتَهِدُ رَأْيِي قَالَ الْحَمْدُ للهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللهِ »
“Rasulullah saw., ketika mengirimkan Mu‘adz ke Yaman, bertanya, “Apa yang akan engkau lakukan jika engkau dihadapkan pada suatu perkara? Mu‘adz menjawab, “Aku akan memutuskan dengan apa yang terdapat dalam Kitabullah.” Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Jika tidak terdapat dalam Kitabullah?” Mu‘adz menjawab, dengan Sunnah Rasululah.” Kemudian beliau bertanya lagi, “Jika tidak terdapat dalam Sunnah Rasulullah?” Mu‘adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan pendapatku.” Lalu Rasulullah berkata, “Segala pujian milik Allah Yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah.” (HR at-Tirmidzi).
Ra’yu semacam itulah yang dijalani oleh para fukaha dan para mujtahid ashhâb ar-ra’yi sebagai pengamalan Sunnah, yaitu pendapat yang disandarkan pada nash. Mereka juga sebenarnya adalah para ahli hadis walaupun mereka dinamai dengan ahl ar-ra’yi. Bahkan kaum Hanafiyah (para pengikut Abu Hanifah) yang terkenal dengan sebutan ahl ar-ra’yi telah bersepakat bahwa (pendapat mazhab Abu Hanifah tentang) hadis yang lebih rendah dari hadis sahih, yaitu hadis hasan lebih utama (diunggulkan) daripada qiyâs dan ra’yu. Karena itu, hadis al-Qahqahah lebih didahulukan—padahal hadis tersebut hasan, tidak sampai pada tingkatan sahihdaripada qiyas dan ra’yu dalam kasus larangan memotong tangan seorang pencuri dengan pencurian kurang dari 10 dirham. Ini adalah sekadar contoh yang menunjukkan bahwa ra’yu menurut mereka adalah memahami suatu nash.
Sementara itu, qiyâs—menurut mereka—lebih rendah martabatnya dari hadis hasan, apalagi hadis sahih. Ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan ra’yu adalah memahami nash dan berpendapat berdasarkan pada nash. Jadi, ahl ar-ra’yi adalah juga ahl al-hadîts.
Dengan demikian fakta ar-ra’yu yang sebetulnya amat berbeda dengan ra’yu yang dimaksudkan oleh para intelektual Muslim saat ini yang menggunakan akal secara bebas dan tanpa ilmu. Anggapan semacam ini merupakan hasil dari serbuan dan didikan peradaban Barat. Sebab, demokrasilah yang mengajarkan kepada mereka kebebasan berpikir dan penggunaan akal pikiran (ar-ra’yu) seluas-luasnya. Padahal, memahami teks dari nash-nash al-Quran dan Sunnah serta menjalankan aktivitas ijtihad atau istinbâth (penggalian hukum) harus bersandar pada ilmu dan kaidah-kaidah bahasa Arab.
Adapun dasar dari keharusan berijtihad ialah antara lain terdapat pada al-Qur'an surat an-Nisa ayat 59:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB ( bÎ*sù ÷Läêôãt»uZs? Îû &äóÓx« çnrŠãsù n<Î) «!$# ÉAqߧ9$#ur bÎ) ÷LäêYä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur ¸xƒÍrù's? ÇÎÒÈ  
Artinya :  “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut :
a.      Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b.      Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
c.       Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan  ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d.   Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e.    Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist. Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat methode-methode antara lain sebagai berikut :

a.      Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
b.      Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya Beberapa definisi qiyâs (analogi) Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
c.       Istihsân
Beberapa definisi Istihsân
Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya. Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
d.     Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
e.      Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.
f.        Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
g.      Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.


1.      SYARAT-SYARAT MUJTAHID
Tidak semua orang dapat berijtihad begitu saja dan mengeluarkan fatwa. Untuk mencapai derajat Mujtahid, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Diantara syarat-syarat mujtahid itu adalah:
a.      Menguasai bahasa Arab. Mujtahid haruslah mampu memahami ucapan orang Arab dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan mereka. Sehingga ia dapat membedakan antara ucapan yang sharih, zhahir, mujmal, haqiqat, majaz, umum, khusus, muhkam, mutasyabih, muthlaq, muqoyyad, nash, serta mudah atau tidaknya dalam pemahaman.
b.      Mengetahui Nasakh dan Mansukh dalam Al-Qur’an serta Asbabun Nuzul, dan seluk beluk ayat-ayat hukum.
c.       Mengerti Sunnah (Hadits) serta Asbabul Wurud. Mujtahid haruslah mengerti seluk beluk hadits dan perawinya secara umum.
d.     Mengerti ijma’ dan ikhtilaf. Mujtahid haruslah mengetahui ijma’ para ulama dan dasar-dasarnya. Dan mujtahid juga harus mengetahui hal-hal ikhtilaf beserta seluk-beluknya.
e.      Mengetahui Qiyas. Mujtahid haruslah mengetahui jalan-jalan qiyas yang benar. Bahkan boleh dikatakan bahwa ijtihad itu adalah Qiyas itu sendiri.
f.        Mengetahui maksud-maksud hukum.
g.      Telah baligh serta mempunyai pemahaman dan penalaran yang benar.
h.      Mempunyai Aqidah dan niat yang benar.

2.      TINGKATAN MUJTAHID
a.      Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil.
Mujtahid Mustaqil (mandiri, independen) adalah ulama yang telah memenuhi semua syarat-syarat di atas. Mereka punya otoritas untuk mengkaji hukum langsung dari Al-Qur’an dan Sunnah, melakukan qiyas, mengeluarkan fatwa atas pertimbangan maslahat, dan menggunakan methode yang dirumuskan sendiri dalam berijtihad tanpa mengekor kepada mujtahid lain. Pendapatnya kemudian disebarluaskan kepada masyarakat. Termasuk dalam tingkatan ini adalah seluruh fuqoha dari kalangan shahabat, fuqoha dari kalangan tabi’in seperti Sa’id bin Musayyab dan Ibrahim an-Nakha’i, fuqoha mujtahid seperti Ja’far ash-Shadiq dan ayahnya, Muhammad al-Baqir, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, al-Auza’i, al-Laits bin Sa’ad, Sufyan ats-Tsaury, dan Abu Tsaur. Namun yang madzhabnya tetap masyhur hingga kini adalah 4 Imam, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
b.      Mujtahid Muntasib.
Mujtahid Muntasib adalah mujtahid-mujtahid yang mengambil/memilih pendapat-pendapat imamnya dalam ushul dan berbeda pendapat dari imamnya dalam cabang, meskipun secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hampir sama dengan hasil ijtihad yang diperoleh imamnya. Termasuk dalam tingkatan ini seperti al-Muzani (dari madzhab Syafi’i) dan Abdurrahman ibnu Qosim (dari madzhab Maliki).
c.       Mujtahid Madzhab.
Mujtahid Madzhab mengikuti imamnya dalam ushul maupun furu’ yang telah jadi. Peranan mereka sebatas melakukan istinbath hukum terhadap masalah-masalah yang belum diriwayatkan oleh imamnya. Mujtahid madzhab tidak berhaq berijtihad terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapannya di dalam madzhab yang dipegangnya, kecuali dalam lingkup terbatas. Menurut madzhab Maliki, tidak pernah kosong suatu masa dari mujtahid madzhab.
d.     Mujtahid Murajjih.
Mujtahid Murajjih hanya mentarjih (mengunggulkan dan menguatkan) diantara pendapat-pendapat yang diriwayatkan dari imamnya dengan alat tarjih yang telah dirumuskan oleh mujtahid-mujtahid pada tingkatan-tingkatan di atasnya. Mereka mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain dalam madzhab yang dipegangnya karena dipandang lebih kuat dalilnya, atau karena sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat pada masa itu, atau karena alasan-alasan lain, namun tidak melakukan kegiatan istinbath baru yang independen. Ini adalah tingkatan paling rendah dalam Ijtihad.











DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. Hanafi, Ushul Fiqh, Penerbit, Wijaya, Jakarta, tahun 1961.
Djazuli, Aen Nurol, Ushul Fiqh metodelogi hukum Islam, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.2000
Harun Nasution, DR. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta.
Karim Safi’i, Ushul Fiqh, Pustaka Setia Bandung: Bandung.1997
Sulaiman Sabiq, Fiqhus Sunnah, Beirut, tahun 1968.


[1] Drs. Nazar Bakri, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : Rajawali Press, 21993), h.37