FIKIH ADAT
(Studi Kasus Penerapan Hukum Islam dalam Adat Kerinci)
Mhd. Rasidin[1]
ABSTRAK
Fikih merupakan titah
Allah yang digali oleh ulama dari dalil yang terperinci untuk diterap dalam
kehidupan umat beragama. Titah Allah ini ditafsirkan dalam berdasarkan metode
ijtihad. Sebagai hasil ijtihad kadang kala hukum itu dipengaruhi oleh adat-istiadat
atau sosiocultural masyarakat. Pelaksanaan hukum Islam sering dilaksana sesuai
dengan adat istiaedat dimana hukum itu diberlakukan. Sehingga lahirlah corak
fikih yang bernuansa adat. Hukum Islam yang bernuansa adat ini dikenal dengan
nama fikih adat.
Makalah ini memaparkan
beberapa teori dan penerapan hukum Islam yang telah di sesuaikan dengan adat
istiadat beberapa daerah di Indonesia.
KATA KUNCI : Fikih, Adat, Indonesia,
Ijtihad.
PENDAHULUAN
Salah satu ciri
terpenting yang menandai perkembangan sosial budaya masyarakat hukum dapat Indonesia
adalah keterbukaan dan kemampuannya menjawab tantangan kebudayaan asing dengan
sikap menerima dan luwes serta pada waktu yang sama juga memilih.[2]
Dimana keterbukaan dan kemampuannya disebabkan oleh masuknya unsur-unsur luar
atau pengaruh budaya asing dari manapun datangnya yang selaras dengan jiwa
masyarakat, terutama sekali pandangan hidup dan kesadaran hukumnya.
Adapun budaya asing yang
sangat menonjol pengaruhnya dalam pertumbuhan dan perkembangan hukum adat ialah
agama Hindu (pengaruhnya dalam bidang hukum dan kesusilaan) dan Budha
(dipengaruhi dalam bidang kesusilaan semata). Pengaruh kedua agama itu akhirnya
tergeser ketika agama Islam masuk ke Indonesia, dimana norma-norma sosial dalam
Islam telah pula diterima oleh masyarakat hukum adat secara damai yang
bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar
penduduk Indonesia.[3]
Begitu besarnya pengaruh Islam dikalangan masyarakat hukum adat yang beragama
Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum Islam tidak saja menggeser
norma-norma sosial yang berlaku sebelumnya, tetapi kelihatannya cenderung
menghapus norma-norma sosial itu. Fenomena ini mulai terlihat sejak masuknya
Islam hingga datangnya bangsa-bangsa
Barat, terutama Belanda ke Indonesia.
HUBUNGAN ADAT DAN HUKUM ISLAM
Antara hukum adat dan hukum Islam terdapat kaitan yang
erat. Hukum adat diberlakukan dengan berdasarkan hukum Islam. Keterkaitan
antara hukum adat dan hukum Islam dapat dilihat dari tiga aspek hubungan:
- Hukum adat memperkuat ketentuan hukum Islam
Produk hukum yang dihasil oleh hukum
Islam berdasarkan kitab Allah diterapkan oleh adat dengan Istilah Syara’
mangato adat memakai. Menguatkan statemen-statemen hukum Islam ini
dipaparkan oleh adat dalam berbagai pepatah dan petitihnya. Seperti kewajiban
bagi seorang hakim untuk berlaku adil. Menurut hukum Islam seorang hakim yang
mengadili perkara harus memberlakukan kliennya dalam posisi yang sama.
Mengadili meraka dengan ketentuan yang sesuai dengan prosedur hukum.
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis tentang kewajiban hakim untuk mengadili
perkara dengan adil.[4]
Persoalan ini dikuatkan oleh
pernyataan adat ketika sumpah menjadi pemangku adat:
Hai kayo (saudara) depati ninik mamak dengar baik-baik prabayo ini :
jangan meraso rimbun hendak meneduh, meraso besar hendak melando, meraso tanduk
runcing hendak mananduk, meraso panjang hendak melilit, jangan tibo di papan
hendak menghentak, tibo di duri hendak berjinjing, jangan tibo di mato
dipicing, tibo di perut dikempis, jangan menggunting kain dalam lipatan, jangan
menyuruk (menjatuhkan) kawan seiring, jangan putih kareno susu, jangan
kuning kareno kunyit. Jangan memaki jangan menghino, jangan kareno upah jangan
kareno sedu (sogokan). Jangan seperti penjahit duo lubang, awak besar
berlaku kecil, burung gedang duo suaro, jangan menghino alim ulama, jangan
menegak benang basah, jangan berunding berkeras hati dengar dulu pendapat
orang. Jangan berbicaro seperti belalai gajah, bak terpijak kepalo ular ekornyo
akan melenting. Dan jangan kayo (saudara) seperti titian kecil di tengah
dusun.
Kalu (kalau) kayo (saudara) melanggar undang-undang ini mako
kayo (saudara) dikutuk Quran 30 Juz. Dimakan karangsetio nan semangkuk.
Ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar di tengah-tengah dijarum
kumbang, kok ngadap kehilir (selatan) keno hujan, kok ngadap ke mudik (utara)
keno biso kawai (lebah). Padi ditanam ilalang yang tumbuh, kunyit ditanam
kuning isi. Sirih lurut dari dagang, pinang lurut dari tampuk, seluang (ikan
khas Kerinci) mati hanyut, hanyut di perenang, tupai mati jatuh, jatuh di
pemanjat. Kayo (saudara) berhenti dengan sendirinyo menjadi depati ninik
mamak, rebahlah makoto (mahkota) kayo (saudara), takucaklah (tertutup)
payung kayo (saudara). Kayo (saudara)
menjadi rakyat biaso.[5]
Pada posisi ini hukum adat
menguatkan ketentuan agama sehingga perkara yang diputuskan oleh pemangku adat
sesuai dengan alur patut dan layak serta tidak bertentanga dengan ajaran Islam.
Sebagaimana ungakapan adat menyebutkan:[6]
“jange tajadoi dalong neghoi,
padi pulak samo samo satangke
padi anouk Indropupro
ngen kusak idei slese
ujieng pangka ideik basuo.”
Artinya :
Jangan terjadi dalam negeri
padi pulut sama setangkai
padi anak Indropuro
yang kusut tidak selesai
ujung pangkal tidak bersua.
- Hukum adat menjelaskan (mubayyin) terhadap ketentuan mujmal/universal, men-takhsis-kan pernyataan yang bersifat umum, dan mempertegas hal-hal yang bersifat muthlaq terdapat dalam hukum Islam.
Ketentuan-ketentuan hukum dalam al-Qur’an dan al-Sunah kadang kala
diungkapkan secara umum dan universal. Pernyataan-pernyataan umum tersebut
tidak dijelaskan oleh sunah atau firman yang lain. Pernyataan umum ini
dijelaskan hukum adat.
Seperti perintah untuk mencari calon
isteri yang mempunyai kriteria cantik, kaya, nasab yang baik dan beragama.
Hadis ini tidak menjelaskan bagaimana pola mencari calon Isteri tersebut. Pada
posisi ini adat berperan menjelaskannya dengan ketentuan strategi mencari jodol
menurut adat.
Dalam adat kerinci terdapat beberapa
cara untuk mencari jodoh yang dikenal dengan adat mencari jodoh. Masyarakat
Kerinci mengenal adat kebiasaan di kalangan muda-mudi yang disebut bamudo,
artinya bermain muda atau berpacaran. Caranya bisa dengan berkirim surat atau bertandang2 ke rumah si gadis, atau jalan-jalan ke
tempat rekreasi, atau nanton di keramaian dan sebagainya.
Dahulu, sebelum orang mengenal tulis
baca, orang menyatakan perasaan hatinya atau cinta melalui bahasa lambang dalam
bentuk bunga (kembang) dan sebagainya.
Masa bamudo ini kadang-kala berjalan
lama, sampai tahunan, tetapi ada juga yang hanya mingguan atau bulanan, bahkan
tanpa bamudo sama sekali. Hal itu tergantung pada situasi dan kondisi.
Kesempatan selama bamudo itu dimanfaatkan untuk saling kenal-mengenal
lebih dekat sebelum mereka mengambil keputusan untuk membangun rumah tangga
bersama.
Apabila proses bamudo berjalan lancar, mulus, dan sudah
mulai ada tanda-tanda kecocokan, maka langkah selanjutnya adalah batuek3 (melamar). Yang datang melamar adalah
pihak prianya, biasanya melalui orang ketiga selaku utusan. Utusan itu bisa
dari anggota keluarga sendiri ataupun orang lain yang dipercayai. Bila lamaran
itu diterima, maka akan dilanjutkan langkah berikutnya, yaitu menyerahkan cihai4 (tanda jadi) berupa pakaian atau benda
lain seperti perhiasan emas dan sebagainya.
Pada acara peletakan cihai
itu biasanya lansung ditetapkan waktu atau hari H-nya. Apabila hari yang
ditentukan itu masih cukup lama, maka dibuatlah semacam ikatan yang disebut batunang
(bertunangan) dengan mengadakan acara kenduri sekaligus sebagai pengumuman
kepada warga masyarakat, bahwa mereka terikat satu sama lain, harap jangan
diganggu.
Sebagai suatu ikatan perjanjian, maka sudah barang tentu ada
sanksinya bilamana dilanggar. Demikian pula janji-kawin yang dibuhul dengan
suatu “tanda” berupa cihai itu. Kalau ingkar janji itu datang dari pihak si
bujang, maka ia akan kehilangan cihai, dan barang tersebut jatuh menjadi
milik si gadis. Dan kalau yang ingkar janji itu pihak si gadis, maka ia harus
mengadakan upacara kenduri dengan mengundang para ninik mamak, alim ulama serta
orang adat, sekaligus memberitahukan, bahwa ikatan perjanjian atau pertunangan
telah putus, dan masing-masing pihak telah kembali bebas seperti sediakala.
Untuk
selanjutnya, bila pemutusan itu dilakukan secara baik-baik, maka kedua belah
pihak lalu mengadakan suatu ikatan kekeluargaan sebagai adik-kakak.
Adapun
apabila pemutusan ikatan janji itu atas persetujuan kedua belah pihak, maka
sanksi seperti tersebut di atas tidak berlaku. Dalam hal ini berlaku
undang-undang adat yang mengatakan : “Alah sko dek janji, alah janji dek
mufakat”.5
- Hukum adat menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam hukum Islam.
Contohnya, penetapan hukum adat
tentang waktu kebolehan akad nikah di lingkungan adat Tanjung Pauh. Dalam hukum
Islam terdapat syari’at untuk segera menikah. Salah satu rukun nikah yaitu akad
nikah. Islam tidak menetapkan secara zahir nash kapan waktu akad nikah itu dilaksanakan.
Dalam hal ini, hukum adat berperan menetapkan waktu pelaksanaan akad nikah. Di
Tanjung Pauh akad nikah tidak boleh dilaksana dari jam 00.01 sampai jam 06.00
ketentuan ini ditetapkan dengan alasan agar perkawinan yang dilaksanakan
merupakan perkawinan yang telah direncanakan secara matang oleh kedua belah
pihak yang akan melangsungkan akad perkawinan.
Ketentuan ini tidak disalahkan oleh
ulama, karena hukum Islam tidak menjelaskan ketentuan waktu pernikahan dan
tidak terdapat perintah kapan seyogyanya akad perkawinan itu dilangsungkan.
Begitu pula dengan waktu yang terlarang untuk melangsungkan akad perkawinan, hukum
Islam juga tidak menentukannya.
Eksistensi hukum Islam dalam hukum adat kerinci yaitu:
- Hukum Islam sebagai sumber hukum adat
Sumber hukum yaitu landasan
berlakunay hukum. Atau pijakan lahirnya hukum. Sumber hukum utama dalam Islam
yaitu al-Qur’an dan al-Sunah. Sedang hukum adat menjadikan Kitabullah sebagi
sumber hukum, sesuai dengan seluko adat: adat basendi syarak, syarak
basendi kitabullah. Adat berdasarkan pada syari’at dan syari’at Islam
berdasarkan pada kitab Allah. Kitab Allah yang dimaksudkan disini ialah
al-Qur’an.
Contohnya dalam membagikan harta
warisan. Adat merujuk kepada pola pembagian warisan yang ditentukan oleh al-Qur’an
atau ketetapan hukum Islam.
- Hukum Islam sebagai legalitasisasi berlakunya hukum adat
Pendekatan yang digunakan untuk
melegasasi sebuah hukum adalah aturan yang diyakini oleh masyarakat bahwa hukum
yang ditetapkan benar-benar bermanfaat bagi msyarakat. Dalam posisi ini, hukum
Islam bertindak sebagai penguat bahwa hukum yang ditetapkan oleh adat
benar-benar bermanfaat bagi kepentingan pemakainya. Dalam ungkap adat
diungkapkan, syara’ mangato adat memakai.
Contohnya adalah adat ziarah kubur yang
dilakukan oleh penduduk Arab pra-Islam. Awalnya Islam melarang ziarah kubur
karena dikhawatirkan akan terjadi syirik. Ketika keimanan umat Islam telah
mapan, dan jumlah uamt Islam semakin banyak, rasulullah memerintahkan untuk
berziarah kubur. Dengan adanya legalisasi dari hukum Islam tentang ziarah kubur
ini, maka ketentuan adat untuk ziarah kubur semakin kuat.
- Hukum Islam sebagai pengontrol berlakuknya hukum adat.
Kadang kala adat yang berdasarkan
pada alur dan patut itu berbuntut kerugian bagi pelaksananya. Hukum Islam
mengontrol pelaksanaan hukum adat agar tidak membawa efek negatif bagi pelaksananya.
Contohnya, adat mengadu ayam yang
dilakukan oleh sebagian masyarkat, seperti yang berlaku pada adat Bali.
Islam melihat bahwa mengadu ayam ini mengandung efek negatif yang dapat menelan
kurban. Adat adu ayam ini juga mengandung unsure gamling dan penganiayaan
terhadap binatang. Berdasarkan beberapa ketentuan syari’at Islam, maka adu ayam
dilarang oleh Islam. Adat pun ikut melarang adat adu ayam tersebut. Pada posisi
ini, Islam berfungsi sebagai pengontrol hukum yang ditetapkan oleh adat.
PENERAPAN HUKUM ISLAM BERNUANSA ADAT
Pada masa prakolonial Belanda Hukum Islam merupakan satu-satunya
sistem hukum yang dijalankan dan menjadi kesadaran hukum yang berkembang dalam
sebagian besar masyarakat hukum adat Indonesia. Selanjutnya kesadaran
hukum Islam ini ternyata masih tetap berkembang, lebih-lebih lagi setelah
diterapkan sebagian besar hukum dalam menyelesaikan perkara-perkara umat Islam,
walau yang hanya menyangkut hukum perdata. Misalnya keputusan pengadilan rapat Pau (W. 1373, 168 a) bahwa "Menurut ketentuan hukum
Nias, anak perempuan tidak berhak atas harta peninggalan ayahnya" diappeal
dan dalam tingkat appeal Raad van Justitie Padang (W. 1373, 168 b) dalam keputusannya
menetapkan bahwa "Ketentuan tersebut tidak berlaku bila yang bersangkutan
telah menjadi Islam".[7]
Keputusan itu menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum Islam terutama
dalam bidang perdata di zaman penjajahan sama sekali tidak diabaikan, dalam
hubungan ini hukum waris Islam diberlakukan, yaitu ketentuan bahwa anak
perempuan berhak atas peninggalan ayahnya, berdasarkan firman Allah:
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي
أَوْلاَدِكُمْ…… النساء : 11
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu" (QS. An Nisaa':11)
Yang dimaksud anak disini sudah tentu mencakup anak perempuan.
Seperti halnya hukum waris Islam, maka hukum perkawinan Islam juga pada
dasarnya dijalankan sesuai dengan asas-asas kekerabatan patriarkal, matriarkal,
dan parental di mana bidang material hukum perkawinan yang berlaku berasal dari
Islam, sedang bidang formal atau acaranya berlaku adat istiadat perkawinan
masyarakat hukum adat setempat.
Fenomena kesadaran Islam di zaman penjajahan itu agaknya hingga
kemerdekaan tercapai, bahkan sampai saat ini belum banyak mengalami perubahan.
Hal ini terlihat jelas di beberapa daerah seperti Aceh hukum Islam masih
dipegang teguh, khususnya yang menyangkut masalah-masalah kekeluargaan.
Penelitian lapangan tentang pengendalian sosial di Aceh besar yang dilakukan
pada tahun 1974 menunjukkan bahwa antara hukum adat dan hukum Islam tak dapat
dipisahkan satu sama lain, karena hukum adat yang berlaku sepenuhnya dinafasi
oleh hukum Islam.[8]
Begitupula keadaannya di Sumatera Barat. Daerah ini dikenal keteguhannya
berpegang kepada hukum adat yang sudah dilegatimir oleh hukum Islam. Artinya
hukum adat yang berlaku hanyalah yang tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam. Banyak petatah-petitih yang menjelaskan
hal ini , misalnya: "Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah".[9]
Di sini kita melihat dengan sadar masyarakat Minangkabau mengatakan
bahwa yang tertinggi kedudukannya dalam pengaturan tingkah laku sosial mereka
adalah kitabullah (Al-Qur'an) yang merupakan sumber hukum dan pedoman segala
segi kehidupan sosialnya. Kasus-kasus serupa ini juga dapat dijumpai di Riau,
Jambi, Palembang,
Bengkulu, Lampung[10]
dan daerah-daerah lain yang mayoritas penduduknya beragam Islam.
Atas dasar itu, maka dapatlah dikatakan bahwa masyarakat muslim di
Indonesia pada waktu itu masih tetap berkeyakinan tentang perlunya menjalankan
hukum Islam. Untuk itu ada baiknya dipertimbangkan bahwa semua ketentuan hukum
yang ada di negeri ini yang tidak sesuai, apalagi yang secara jelas
bertentangan dengan asas-asas hukum Islam hendaknya tidak diberlakukan,
kemudian perlu diganti dengan sistem hukum yang selaras dengan kesadarn hukum
umat Islam.
PENUTUP
Hukum
Islam kadang kala dilaksana oleh masyarakat yang memiliki khazanah kebudayaan
yang telah berkembang sejak nenek moyang mereka. Di daerah ini pengamalan ajran
Islam banyak yang berbaur dengan ajaran Islam. Karena menurut mereka adapt yang
mereka pakai sesuai dengan ajaran Islam. Di kalangan masyarakat yang masih
menggunakan adapt sebagai dasar kehidupan mereka, senantiasa memposisikan Islam
sebagai Pengontrol terhadap pelaksanaan ritual-ritual adat. Adat juga
didasarkan kepada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Pemahaman
Islam yang bersifat kultural ini dikenal dengan istilah Fikih Adat. Dengan kata
lain, pelaksanaan adat berdasarkan undang-undang Islam.
DAFTAR BACAAN
Hidred Geertz, Aneka
Budaya dan Komunitas di Indonesia, terjemahan A. Rahman Zainuddin
(Pulsar,1981)
Hazairin, Tujuh
Serangkai tentang Hukum (Jakarata: Tintamas, 1974)
Moch. Hidjazie
Kartawidjaja, Pembahasan terhadap Prasaran Satjipto Rahardjo SH, "Pengertian
Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Hukum Nasional",
makalah untuk Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang
diselenggarakan di Yogyakarta, 15-17 Januari 1975.
SM Amin,
Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Nasional (Jakarta: Sastra Hudaya, 1978)
T. Bachtiar
Effendi Panglima Polem, Pengendalian Sosial di Aceh Besar, dalm Alfian, ed.,
Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Jakarta: LP3ES, 1977).
[1]Dosen Jurusan Syari’ah STAIN Kerinci
[2] Bandingkan dengan Hidred Geertz, Aneka Budaya dan Komunitas di
Indonesia, terjemahan A. Rahman Zainuddin (Pulsar,1981), hal. 95-96
[3] Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum (Jakarata: Tintamas,
1974), hal. 38; Moch. Hidjazie Kartawidjaja, Pembahasan terhadap Prasaran
Satjipto Rahardjo SH, "Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam
Masyarakat (Living Law) dan Hukum Nasional", makalah untuk Seminar
Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta,
15-17 Januari 1975.
[4]Ibn Hajar al-‘Asqalaniy, Bulugh al-Maram, (Bandung:
Syirkah al-Ma’arif li al-Thab’ wa al-Nasyr, t.th.), h. h. 341 – 344
[5] Mhd. Rasidin, Adot Kincai: Adat Lama Pusaka Usang, (Kerinci:
t.p., 2002), h. 7
[6]Ali Bato, Eksistensi Hukum Adat dalam Menyelesaikan Perkara di
Tanjung Pauh Mudik—Kerinci, Tesis, (Padang:
Universitas Negeri Padang, 2002), h. 34.
2 Batandang atau bertandang biasanya dilakukan pada malam hari
pada pukul 21.00 sampai pukul 24.00 Wib. Tempatnya bisa dirumah si gadis atau
di rumah orang lain yang ditunjuk. Bila bertempat di rumah sendiri si gadis
ditemani oleh ibunya,dan apabila bertempat di rumah lainnya dia ditemani oleh
seorang perempuan yang agak baya yang ada di rumah tersebut. Yang penting di
sini harus ada teman sesama perempuan. Percakapan biasanya diselang-seling dan
saling berpantun.
3 Batuek, istilah lainnya nasat atau nyasat, yaitu menanyakan
atau menjajaki apakaah si gadis sudah ada yang punya apa belum. Kalau belum ada
yang punya, apakah sudi menerima si bujang kami.
4 Cihai, mungkin berasal dari kata-kata ciri (tanda). Bila cihai
sudah diterima, maka pantang dibatalkan.
5 Ada
reaksi yang agak berbeda tetapi maksudnya sama, ppepatah adat ini berbunyi : Alah
sko dek janji, alah janji dek mufakat, alah mufakat dek suko samo suko, atau ….
Dek samo mbuh; atau …. Dek prembuk. Maksudnya ketentuan yang telah baku menurut adat itu bisa
kalah karena ada kesepakatan, kesepakatan bisa kalah karena sama-sama mau,
sama-sama suka, sama-sama rela.
[7] SM Amin, Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Nasional (Jakarta:
Sastra Hudaya, 1978), hal. 15.
[8] T. Bachtiar Effendi Panglima Polem, Pengendalian Sosial di Aceh
Besar, dalm Alfian, ed., Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Jakarta:
LP3ES, 1977).
[9] Dalam masyarakat Minangkabau adat seperti ini disebut adat nan sabana adat, lihat Soerjono Soekanto, Pengantar
Sosiologi Hukum (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977), hal. 112.
[10] Sayuti Thalib, Reception in Complexu, Theorie Receptie dan Receptio
a Contario, dalam In Momerium Prof. Mr. Dr. Hazairin, Op-Cit, hal. 53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar