BUYA MUDO RASIDIN

Anda Bertanya, Buya Menjawab

Religius, Cultural, dan Rasional

Rabu, 20 November 2013

FIKIH ADAT



FIKIH ADAT
(Studi Kasus Penerapan Hukum Islam dalam Adat Kerinci)
Mhd. Rasidin[1]

ABSTRAK
Fikih merupakan titah Allah yang digali oleh ulama dari dalil yang terperinci untuk diterap dalam kehidupan umat beragama. Titah Allah ini ditafsirkan dalam berdasarkan metode ijtihad. Sebagai hasil ijtihad kadang kala hukum itu dipengaruhi oleh adat-istiadat atau sosiocultural masyarakat. Pelaksanaan hukum Islam sering dilaksana sesuai dengan adat istiaedat dimana hukum itu diberlakukan. Sehingga lahirlah corak fikih yang bernuansa adat. Hukum Islam yang bernuansa adat ini dikenal dengan nama fikih adat.
Makalah ini memaparkan beberapa teori dan penerapan hukum Islam yang telah di sesuaikan dengan adat istiadat beberapa daerah di Indonesia.
                                           
KATA KUNCI : Fikih, Adat, Indonesia, Ijtihad.

PENDAHULUAN
Salah satu ciri terpenting yang menandai perkembangan sosial budaya masyarakat hukum dapat Indonesia adalah keterbukaan dan kemampuannya menjawab tantangan kebudayaan asing dengan sikap menerima dan luwes serta pada waktu yang sama juga memilih.[2] Dimana keterbukaan dan kemampuannya disebabkan oleh masuknya unsur-unsur luar atau pengaruh budaya asing dari manapun datangnya yang selaras dengan jiwa masyarakat, terutama sekali pandangan hidup dan kesadaran hukumnya.
Adapun budaya asing yang sangat menonjol pengaruhnya dalam pertumbuhan dan perkembangan hukum adat ialah agama Hindu (pengaruhnya dalam bidang hukum dan kesusilaan) dan Budha (dipengaruhi dalam bidang kesusilaan semata). Pengaruh kedua agama itu akhirnya tergeser ketika agama Islam masuk ke Indonesia, dimana norma-norma sosial dalam Islam telah pula diterima oleh masyarakat hukum adat secara damai yang bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia.[3] Begitu besarnya pengaruh Islam dikalangan masyarakat hukum adat yang beragama Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum Islam tidak saja menggeser norma-norma sosial yang berlaku sebelumnya, tetapi kelihatannya cenderung menghapus norma-norma sosial itu. Fenomena ini mulai terlihat sejak masuknya Islam  hingga datangnya bangsa-bangsa Barat, terutama Belanda ke Indonesia.

HUBUNGAN ADAT DAN HUKUM ISLAM
Antara hukum adat dan hukum Islam terdapat kaitan yang erat. Hukum adat diberlakukan dengan berdasarkan hukum Islam. Keterkaitan antara hukum adat dan hukum Islam dapat dilihat dari tiga aspek hubungan:
  1. Hukum adat memperkuat ketentuan hukum Islam
Produk hukum yang dihasil oleh hukum Islam berdasarkan kitab Allah diterapkan oleh adat dengan Istilah Syara’ mangato adat memakai. Menguatkan statemen-statemen hukum Islam ini dipaparkan oleh adat dalam berbagai pepatah dan petitihnya. Seperti kewajiban bagi seorang hakim untuk berlaku adil. Menurut hukum Islam seorang hakim yang mengadili perkara harus memberlakukan kliennya dalam posisi yang sama. Mengadili meraka dengan ketentuan yang sesuai dengan prosedur hukum. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis tentang kewajiban hakim untuk mengadili perkara dengan adil.[4]
Persoalan ini dikuatkan oleh pernyataan adat ketika sumpah menjadi pemangku adat:
Hai kayo (saudara) depati ninik mamak dengar baik-baik prabayo ini : jangan meraso rimbun hendak meneduh, meraso besar hendak melando, meraso tanduk runcing hendak mananduk, meraso panjang hendak melilit, jangan tibo di papan hendak menghentak, tibo di duri hendak berjinjing, jangan tibo di mato dipicing, tibo di perut dikempis, jangan menggunting kain dalam lipatan, jangan menyuruk (menjatuhkan) kawan seiring, jangan putih kareno susu, jangan kuning kareno kunyit. Jangan memaki jangan menghino, jangan kareno upah jangan kareno sedu (sogokan). Jangan seperti penjahit duo lubang, awak besar berlaku kecil, burung gedang duo suaro, jangan menghino alim ulama, jangan menegak benang basah, jangan berunding berkeras hati dengar dulu pendapat orang. Jangan berbicaro seperti belalai gajah, bak terpijak kepalo ular ekornyo akan melenting. Dan jangan kayo (saudara) seperti titian kecil di tengah dusun.
Kalu (kalau) kayo (saudara) melanggar undang-undang ini mako kayo (saudara) dikutuk Quran 30 Juz. Dimakan karangsetio nan semangkuk. Ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar di tengah-tengah dijarum kumbang, kok ngadap kehilir (selatan) keno hujan, kok ngadap ke mudik (utara) keno biso kawai (lebah). Padi ditanam ilalang yang tumbuh, kunyit ditanam kuning isi. Sirih lurut dari dagang, pinang lurut dari tampuk, seluang (ikan khas Kerinci) mati hanyut, hanyut di perenang, tupai mati jatuh, jatuh di pemanjat. Kayo (saudara) berhenti dengan sendirinyo menjadi depati ninik mamak, rebahlah makoto (mahkota) kayo (saudara), takucaklah (tertutup) payung kayo (saudara).  Kayo (saudara) menjadi rakyat biaso.[5]
Pada posisi ini hukum adat menguatkan ketentuan agama sehingga perkara yang diputuskan oleh pemangku adat sesuai dengan alur patut dan layak serta tidak bertentanga dengan ajaran Islam. Sebagaimana ungakapan adat menyebutkan:[6]
jange tajadoi dalong neghoi,
padi pulak samo samo satangke
padi anouk Indropupro
ngen kusak idei slese
ujieng pangka ideik basuo.”
Artinya :
Jangan terjadi dalam negeri
padi pulut sama setangkai
padi anak Indropuro
yang kusut tidak selesai
ujung pangkal tidak bersua.

  1. Hukum adat menjelaskan (mubayyin) terhadap ketentuan mujmal/universal, men-takhsis-kan pernyataan yang bersifat umum, dan mempertegas hal-hal yang bersifat muthlaq terdapat dalam hukum Islam.
Ketentuan-ketentuan hukum dalam al-Qur’an dan al-Sunah kadang kala diungkapkan secara umum dan universal. Pernyataan-pernyataan umum tersebut tidak dijelaskan oleh sunah atau firman yang lain. Pernyataan umum ini dijelaskan hukum adat.
Seperti perintah untuk mencari calon isteri yang mempunyai kriteria cantik, kaya, nasab yang baik dan beragama. Hadis ini tidak menjelaskan bagaimana pola mencari calon Isteri tersebut. Pada posisi ini adat berperan menjelaskannya dengan ketentuan strategi mencari jodol menurut adat.
Dalam adat kerinci terdapat beberapa cara untuk mencari jodoh yang dikenal dengan adat mencari jodoh. Masyarakat Kerinci mengenal adat kebiasaan di kalangan muda-mudi yang disebut bamudo, artinya bermain muda atau berpacaran. Caranya bisa dengan berkirim surat atau bertandang2 ke rumah si gadis, atau jalan-jalan ke tempat rekreasi, atau nanton di keramaian dan sebagainya.
Dahulu, sebelum orang mengenal tulis baca, orang menyatakan perasaan hatinya atau cinta melalui bahasa lambang dalam bentuk bunga (kembang) dan sebagainya.
 Masa bamudo ini kadang-kala berjalan lama, sampai tahunan, tetapi ada juga yang hanya mingguan atau bulanan, bahkan tanpa bamudo sama sekali. Hal itu tergantung pada situasi dan kondisi. Kesempatan selama bamudo itu dimanfaatkan untuk saling kenal-mengenal lebih dekat sebelum mereka mengambil keputusan untuk membangun rumah tangga bersama.
      Apabila proses bamudo berjalan lancar, mulus, dan sudah mulai ada tanda-tanda kecocokan, maka langkah selanjutnya adalah batuek3 (melamar). Yang datang melamar adalah pihak prianya, biasanya melalui orang ketiga selaku utusan. Utusan itu bisa dari anggota keluarga sendiri ataupun orang lain yang dipercayai. Bila lamaran itu diterima, maka akan dilanjutkan langkah berikutnya, yaitu menyerahkan cihai4 (tanda jadi) berupa pakaian atau benda lain seperti perhiasan emas dan sebagainya.
Pada acara peletakan cihai itu biasanya lansung ditetapkan waktu atau hari H-nya. Apabila hari yang ditentukan itu masih cukup lama, maka dibuatlah semacam ikatan yang disebut batunang (bertunangan) dengan mengadakan acara kenduri sekaligus sebagai pengumuman kepada warga masyarakat, bahwa mereka terikat satu sama lain, harap jangan diganggu.
      Sebagai suatu ikatan perjanjian, maka sudah barang tentu ada sanksinya bilamana dilanggar. Demikian pula janji-kawin yang dibuhul dengan suatu “tanda” berupa cihai itu. Kalau ingkar janji itu datang dari pihak si bujang, maka ia akan kehilangan cihai, dan barang tersebut jatuh menjadi milik si gadis. Dan kalau yang ingkar janji itu pihak si gadis, maka ia harus mengadakan upacara kenduri dengan mengundang para ninik mamak, alim ulama serta orang adat, sekaligus memberitahukan, bahwa ikatan perjanjian atau pertunangan telah putus, dan masing-masing pihak telah kembali bebas seperti sediakala.
Untuk selanjutnya, bila pemutusan itu dilakukan secara baik-baik, maka kedua belah pihak lalu mengadakan suatu ikatan kekeluargaan sebagai adik-kakak.
Adapun apabila pemutusan ikatan janji itu atas persetujuan kedua belah pihak, maka sanksi seperti tersebut di atas tidak berlaku. Dalam hal ini berlaku undang-undang adat yang mengatakan : “Alah sko dek janji, alah janji dek mufakat”.5

  1.  Hukum adat menetapkan hukum yang tidak terdapat dalam hukum Islam.
Contohnya, penetapan hukum adat tentang waktu kebolehan akad nikah di lingkungan adat Tanjung Pauh. Dalam hukum Islam terdapat syari’at untuk segera menikah. Salah satu rukun nikah yaitu akad nikah. Islam tidak menetapkan secara zahir nash kapan waktu akad nikah itu dilaksanakan. Dalam hal ini, hukum adat berperan menetapkan waktu pelaksanaan akad nikah. Di Tanjung Pauh akad nikah tidak boleh dilaksana dari jam 00.01 sampai jam 06.00 ketentuan ini ditetapkan dengan alasan agar perkawinan yang dilaksanakan merupakan perkawinan yang telah direncanakan secara matang oleh kedua belah pihak yang akan melangsungkan akad perkawinan.
Ketentuan ini tidak disalahkan oleh ulama, karena hukum Islam tidak menjelaskan ketentuan waktu pernikahan dan tidak terdapat perintah kapan seyogyanya akad perkawinan itu dilangsungkan. Begitu pula dengan waktu yang terlarang untuk melangsungkan akad perkawinan, hukum Islam juga tidak menentukannya.

Eksistensi hukum Islam dalam hukum adat kerinci yaitu:
  1. Hukum Islam sebagai sumber hukum adat
Sumber hukum yaitu landasan berlakunay hukum. Atau pijakan lahirnya hukum. Sumber hukum utama dalam Islam yaitu al-Qur’an dan al-Sunah. Sedang hukum adat menjadikan Kitabullah sebagi sumber hukum, sesuai dengan seluko adat: adat basendi syarak, syarak basendi kitabullah. Adat berdasarkan pada syari’at dan syari’at Islam berdasarkan pada kitab Allah. Kitab Allah yang dimaksudkan disini ialah al-Qur’an.
Contohnya dalam membagikan harta warisan. Adat merujuk kepada pola pembagian warisan yang ditentukan oleh al-Qur’an atau ketetapan hukum Islam.
  1. Hukum Islam sebagai legalitasisasi berlakunya hukum adat
Pendekatan yang digunakan untuk melegasasi sebuah hukum adalah aturan yang diyakini oleh masyarakat bahwa hukum yang ditetapkan benar-benar bermanfaat bagi msyarakat. Dalam posisi ini, hukum Islam bertindak sebagai penguat bahwa hukum yang ditetapkan oleh adat benar-benar bermanfaat bagi kepentingan pemakainya. Dalam ungkap adat diungkapkan, syara’ mangato adat memakai.
 Contohnya adalah adat ziarah kubur yang dilakukan oleh penduduk Arab pra-Islam. Awalnya Islam melarang ziarah kubur karena dikhawatirkan akan terjadi syirik. Ketika keimanan umat Islam telah mapan, dan jumlah uamt Islam semakin banyak, rasulullah memerintahkan untuk berziarah kubur. Dengan adanya legalisasi dari hukum Islam tentang ziarah kubur ini, maka ketentuan adat untuk ziarah kubur semakin kuat.

  1. Hukum Islam sebagai pengontrol berlakuknya hukum adat.
Kadang kala adat yang berdasarkan pada alur dan patut itu berbuntut kerugian bagi pelaksananya. Hukum Islam mengontrol pelaksanaan hukum adat agar tidak membawa efek negatif  bagi pelaksananya.
Contohnya, adat mengadu ayam yang dilakukan oleh sebagian masyarkat, seperti yang berlaku  pada adat Bali. Islam melihat bahwa mengadu ayam ini mengandung efek negatif yang dapat menelan kurban. Adat adu ayam ini juga mengandung unsure gamling dan penganiayaan terhadap binatang. Berdasarkan beberapa ketentuan syari’at Islam, maka adu ayam dilarang oleh Islam. Adat pun ikut melarang adat adu ayam tersebut. Pada posisi ini, Islam berfungsi sebagai pengontrol hukum yang ditetapkan oleh adat.

PENERAPAN HUKUM ISLAM BERNUANSA ADAT
Pada masa prakolonial Belanda Hukum Islam merupakan satu-satunya sistem hukum yang dijalankan dan menjadi kesadaran hukum yang berkembang dalam sebagian besar masyarakat hukum adat Indonesia. Selanjutnya kesadaran hukum Islam ini ternyata masih tetap berkembang, lebih-lebih lagi setelah diterapkan sebagian besar hukum dalam menyelesaikan perkara-perkara umat Islam, walau yang hanya menyangkut hukum perdata. Misalnya keputusan pengadilan rapat Pau (W. 1373, 168 a) bahwa "Menurut ketentuan hukum Nias, anak perempuan tidak berhak atas harta peninggalan ayahnya" diappeal dan dalam tingkat appeal Raad van Justitie Padang (W. 1373, 168 b) dalam keputusannya menetapkan bahwa "Ketentuan tersebut tidak berlaku bila yang bersangkutan telah menjadi Islam".[7]
Keputusan itu menunjukkan bahwa pelaksanaan hukum Islam terutama dalam bidang perdata di zaman penjajahan sama sekali tidak diabaikan, dalam hubungan ini hukum waris Islam diberlakukan, yaitu ketentuan bahwa anak perempuan berhak atas peninggalan ayahnya, berdasarkan firman Allah:
يُوصِيكُمُ اللهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ……  النساء : 11
"Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu" (QS. An Nisaa':11)
Yang dimaksud anak disini sudah tentu mencakup anak perempuan. Seperti halnya hukum waris Islam, maka hukum perkawinan Islam juga pada dasarnya dijalankan sesuai dengan asas-asas kekerabatan patriarkal, matriarkal, dan parental di mana bidang material hukum perkawinan yang berlaku berasal dari Islam, sedang bidang formal atau acaranya berlaku adat istiadat perkawinan masyarakat hukum adat setempat.
Fenomena kesadaran Islam di zaman penjajahan itu agaknya hingga kemerdekaan tercapai, bahkan sampai saat ini belum banyak mengalami perubahan. Hal ini terlihat jelas di beberapa daerah seperti Aceh hukum Islam masih dipegang teguh, khususnya yang menyangkut masalah-masalah kekeluargaan. Penelitian lapangan tentang pengendalian sosial di Aceh besar yang dilakukan pada tahun 1974 menunjukkan bahwa antara hukum adat dan hukum Islam tak dapat dipisahkan satu sama lain, karena hukum adat yang berlaku sepenuhnya dinafasi oleh hukum Islam.[8]
Begitupula keadaannya di Sumatera Barat. Daerah ini dikenal keteguhannya berpegang kepada hukum adat yang sudah dilegatimir oleh hukum Islam. Artinya hukum adat yang berlaku hanyalah yang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam. Banyak petatah-petitih yang menjelaskan hal ini , misalnya: "Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah".[9]
Di sini kita melihat dengan sadar masyarakat Minangkabau mengatakan bahwa yang tertinggi kedudukannya dalam pengaturan tingkah laku sosial mereka adalah kitabullah (Al-Qur'an) yang merupakan sumber hukum dan pedoman segala segi kehidupan sosialnya. Kasus-kasus serupa ini juga dapat dijumpai di Riau, Jambi, Palembang, Bengkulu, Lampung[10] dan daerah-daerah lain yang mayoritas penduduknya beragam Islam.
Atas dasar itu, maka dapatlah dikatakan bahwa masyarakat muslim di Indonesia pada waktu itu masih tetap berkeyakinan tentang perlunya menjalankan hukum Islam. Untuk itu ada baiknya dipertimbangkan bahwa semua ketentuan hukum yang ada di negeri ini yang tidak sesuai, apalagi yang secara jelas bertentangan dengan asas-asas hukum Islam hendaknya tidak diberlakukan, kemudian perlu diganti dengan sistem hukum yang selaras dengan kesadarn hukum umat Islam.

PENUTUP
            Hukum Islam kadang kala dilaksana oleh masyarakat yang memiliki khazanah kebudayaan yang telah berkembang sejak nenek moyang mereka. Di daerah ini pengamalan ajran Islam banyak yang berbaur dengan ajaran Islam. Karena menurut mereka adapt yang mereka pakai sesuai dengan ajaran Islam. Di kalangan masyarakat yang masih menggunakan adapt sebagai dasar kehidupan mereka, senantiasa memposisikan Islam sebagai Pengontrol terhadap pelaksanaan ritual-ritual adat. Adat juga didasarkan kepada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Pemahaman Islam yang bersifat kultural ini dikenal dengan istilah Fikih Adat. Dengan kata lain, pelaksanaan adat berdasarkan undang-undang Islam.


DAFTAR BACAAN

Hidred Geertz, Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, terjemahan A. Rahman Zainuddin (Pulsar,1981)

Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum (Jakarata: Tintamas, 1974)

Moch. Hidjazie Kartawidjaja, Pembahasan terhadap Prasaran Satjipto Rahardjo SH, "Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Hukum Nasional", makalah untuk Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, 15-17 Januari 1975.

SM Amin, Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Nasional (Jakarta: Sastra Hudaya, 1978)

T. Bachtiar Effendi Panglima Polem, Pengendalian Sosial di Aceh Besar, dalm Alfian, ed., Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Jakarta: LP3ES, 1977).

Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977)


[1]Dosen Jurusan Syari’ah STAIN Kerinci
[2] Bandingkan dengan Hidred Geertz, Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, terjemahan A. Rahman Zainuddin (Pulsar,1981), hal. 95-96
[3] Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum (Jakarata: Tintamas, 1974), hal. 38; Moch. Hidjazie Kartawidjaja, Pembahasan terhadap Prasaran Satjipto Rahardjo SH, "Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Hukum Nasional", makalah untuk Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, 15-17 Januari 1975.

[4]Ibn Hajar al-‘Asqalaniy, Bulugh al-Maram,  (Bandung: Syirkah al-Ma’arif li al-Thab’ wa al-Nasyr, t.th.), h. h. 341 – 344 
[5] Mhd. Rasidin, Adot Kincai: Adat Lama Pusaka Usang, (Kerinci: t.p., 2002), h. 7
[6]Ali Bato, Eksistensi Hukum Adat dalam Menyelesaikan Perkara di Tanjung Pauh Mudik—Kerinci, Tesis, (Padang: Universitas Negeri Padang, 2002), h. 34.
2 Batandang atau bertandang biasanya dilakukan pada malam hari pada pukul 21.00 sampai pukul 24.00 Wib. Tempatnya bisa dirumah si gadis atau di rumah orang lain yang ditunjuk. Bila bertempat di rumah sendiri si gadis ditemani oleh ibunya,dan apabila bertempat di rumah lainnya dia ditemani oleh seorang perempuan yang agak baya yang ada di rumah tersebut. Yang penting di sini harus ada teman sesama perempuan. Percakapan biasanya diselang-seling dan saling berpantun.
3 Batuek, istilah lainnya nasat atau nyasat, yaitu menanyakan atau menjajaki apakaah si gadis sudah ada yang punya apa belum. Kalau belum ada yang punya, apakah sudi menerima si bujang kami.
4 Cihai, mungkin berasal dari kata-kata ciri (tanda). Bila cihai sudah diterima, maka pantang dibatalkan.
5 Ada reaksi yang agak berbeda tetapi maksudnya sama, ppepatah adat ini berbunyi : Alah sko dek janji, alah janji dek mufakat, alah mufakat dek suko samo suko, atau …. Dek samo mbuh; atau …. Dek prembuk. Maksudnya ketentuan yang telah baku menurut adat itu bisa kalah karena ada kesepakatan, kesepakatan bisa kalah karena sama-sama mau, sama-sama suka, sama-sama rela.
[7] SM Amin, Kodifikasi dan Unifikasi Hukum Nasional (Jakarta: Sastra Hudaya, 1978), hal. 15.
[8] T. Bachtiar Effendi Panglima Polem, Pengendalian Sosial di Aceh Besar, dalm Alfian, ed., Segi-segi Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Jakarta: LP3ES, 1977).
[9] Dalam masyarakat Minangkabau adat seperti ini disebut adat nan  sabana adat, lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum (Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1977), hal. 112.
[10] Sayuti Thalib, Reception in Complexu, Theorie Receptie dan Receptio a Contario, dalam In Momerium Prof. Mr. Dr. Hazairin, Op-Cit, hal. 53.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar