BUYA MUDO RASIDIN

Anda Bertanya, Buya Menjawab

Religius, Cultural, dan Rasional

Rabu, 20 November 2013

PENDIDIKAN PSIKO-SPRITUAL AJARAN SULUK DALAM TAREKAT NAQSYABANDIYAH



PENDIDIKAN PSIKO-SPRITUAL AJARAN SULUK
DALAM TAREKAT NAQSYABANDIYAH

OLeh. Dr. Mhd. Rasidin, M.Ag.[1]

Abstrak
Bagi kaum sufi pembentukan etika dan estetika spritual yang luhur merupakan maqamat (station-station) untuk menggapai Tuhan semesta alam. Ajaran-ajaran tentang etika dan estika sufistik ini mayoritas di dapatkan oleh kaum sufi dengan meneladani langkah-langkah mistik sufi sebelum mereka. Sebagaian dari cara tersebut diuraikan oleh para kaum sufi dengan menempuh jalan suluk.
Suluk yaitu mengasingkan diri pada suatu tempat dengan dibimbing oleh seorang murabbi atau mursyid. Pelaksanaan suluk biasanya dilaksanakan dalam waktu sepuluh hari, dua puluh hari, atau empat puluh hari. Selama menjalankan suluk, seorang salik tidak boleh melaukan kegiatan-kegiatan sosial. Salik hanya boleh berkomukasi dengan sang mursyid.
Dengan pola mengasah ketajaman mata batin di bawah bimbingan murabbi selama waktu tertentu seorang salik akan terlatih menempuh setiap station-station sufistik yang terdapat dalam ajaran tasawuf. Menjalankan setiap station ini merupakan pendidikan psico-sufistik pada sang salik yang akhirnya bermuara pada pembentukan etika dan estetika yang luhur.

Kata Kunci:
Psico-spritual, Suluk, Tarekat, dan Naqasyabandiyah.

A.    PENDAHULUAN
Tarekat[2] (thariqah), yang secara harfiah berarti jalan kecil (fath), memiliki dua pengertian (konotasi) yang berbeda, tetapi salaing berhubungan. Pertama, tarekat dimengerti sebagai perjalanan srpitual menuju Tuhan. Dalam konteks ini kita akan icara tentang maqamat (station-station) yang harus dilalui oleh seorang sufi dan ahwal (state) yang peroleh sufi dalam perjalanannya menemukan Tuhan.
Kedua, tarekat yang dipahami oleh sebagai ”persaudaraan”  (sufi brotherhood) atau ordo spritual (spritual order), yang biasanya merupakan perkumpulan spritual yang pimpin oleh seorang mursyid (guru), syaikh dan para khalifahnya.[3] Nah, dalam pengertian yang kedua inilah yang saya maksudkan dengan ”Tarekat Naqsyabandiyah” dalam judul makalah ini.
Tareat Naqsyabandiyah adalah sebuah organisasi tarekat yang didirikan oleh seorang sufistik Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandy, yang lahir di Bukhara desa Qashrul Arifah pada tahun 1318 M/ 717 H. Tarekat ini pertama kali berkembang di Asia Tengah, kemudian meluas ke Turki, Afghanistan, dan India. Perkembangan tarekat Naqsabandiyah di Nusantara pertama kali diperkenal oleh Syaikh Yusuf Makassary pada abad ke-16.[4]
Tarekat Naqsyabandi merupakan satu-satunya tarekat yang memiliki Silsilah transmisi pengetahuan melalui pemimpin pertama ummat Islam, Abu Bakar as-Sidiq. Tidak seperti tarekat-tarekat lainnya, dimana Silsilah-nya berpangkal dari salah satu pemimpin spiritual dan Imam Syi’ah, yaitu Imam Ali Ibn Abi Thalib.
Sebagaimana umumnya pengikut dan penganut ajaran tarekat, Sejatinya, agama adalah tradisi dan akhlak kenabian yang mengalir deras sejak masa kenabian Adam a.s. hingga masa kenabian Muhammad saw. Puncak tradisi dan akhlak mulia ini bermuara kenabian Muhammad yang terlahir sebagai insan al-kamil. Konsep insan al-kamil yang terdapat pada nabi Muhammad menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi seorang sufi dalam menggapai Tuhan.
Tradisi dan akhlak kenabian yang terpatri dalam konsep insan al-kamil merupakan kekuatan inti (core force) yang diyakini oleh seorang sufi mampu membawa mereka pada kebenaran sejati, yaitu ”bertemu”  dan ”menyatu” dengan Tuhan.[5]
Untuk menggapai nilai etika dan estitika spritual yang mulia (insan al-kamil) seorang sufi menjalankan beberapa ritual yang diyakini mampu mengantar mereka pada zat yang maha suci. Ritual tersebut kadang kala dijalan sendiri oleh sang sufi dan bisa pula dengan melakukan berbagai ritual secara jama’ah.
Pada tarekat Naqsyabandy untuk mencapai nilai etika dan estetika yang luhur tersebut dapat ditempuh oleh pengikut tarekat dengan melaksanakan suluk. Suluk yaitu mengasingkan diri dibawah bimbingan mursyid untuk mendekatkan diri pada Allah.[6]
Selama menjalankan aktifitas suluk seorang salik tidak boleh melakukan kegiatan selain berzikir kepada Allah dan sholat. Pengasingan diri bagi seorang salik adalah jalan memutuskan hubungan sosialnya dengan manusia untuk menggapai kedekatan dengan Tuhan. Menjalankan suluk merupakan mujahadah nafsi dan riyadhah tahzib al-nafsi bagi sang salik.
Ketikan meniti jalan suluk seorang salik diberikan pendidikan-pendidikan psico-spritual dari sang mursyid. Setiap saat, sang mursyid selalu memperhatikan situasi dan kondisi fisik maupun nonfisik yang terdapat pada si salik. Kondisi tersebut merupakan petunjuk bagi sang mursyid dalam membimbing salik. Pola pendidikan seperti ini akan mempengaruhi pola pikir dan pola zikir seorang salik. Tanpa disadari oleh seorang salik bahwa seorang mursyid telah membetuk kejiwaan baru bagi salik untuk selalu mendekatkan diri pada Allah.
Pendidikan dengan tradisi suluk dalam tarekat Naqsyabandiyah ini patut untuk dipaparkan bagi khalayak umum sebagai bahan renungan mendekatkan diri pada Allah.
   
B.     PENDIDIKAN SULUK DALAM TAREKAT NAQSYABANDIYAH
Suluk[7] secara harfiah berarti menempuh (jalan). Dalam kaitannya dengan agama Islam dan sufisme, kata suluk berarti menempuh jalan (spiritual) untuk menuju Allah. Menempuh jalan suluk (bersuluk) mencakup sebuah disiplin seumur hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris agama Islam (syariat) sekaligus aturan-aturan esoteris agama Islam (hakikat). Ber-suluk juga mencakup hasrat untuk Mengenal Diri, Memahami Esensi Kehidupan, Pencarian Tuhan, dan Pencarian Kebenaran Sejati (ilahiyyah), melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan syariat lahiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan.
Suluk ialah mengasingkan diri dari keramaian atau ke tempat yang terpencil, guna melakukan zikir di bawah bimbingan seorang syekh atau khalifahnya selama waktu 10 hari atau 20 hari dan sempurnanya adalah 40 hari. Tata cara bersuluk ditentukan oleh syekh antara lain; tidak boleh makan daging, ini berlaku setelah melewati masa suluk 20 hari. Begitu juga dilarang bergaul dengan suami atau istri; makan dan minumnya diatur sedemikian rupa, kalau mungkin sesedikit mungkin. Waktu dan semua pikirannya sepenuhnya diarahkan untuk berpikir yang telah ditentukan oleh syekh atau khalifah.
Sebelum suluk ada beberapa tahapan yaitu; Talqin dzikir atau bai'at dzikir, tawajjuh, rabithah, tawassul dan dzikir. Talqin dzikir atau bai'at dzikir dimulai dengan mandi taubat, bertawajjuh dan melakukan rabithah dan tawassul ketika akan memulai dzikir.
Suluk dalam dunia tasawuf juga dinamakan dengan khalwat. Khalwat dilakukan untuk memperoleh pemutusan hubungan dengan dunia luar dan pemfokusan pemikiran sehingga terciptalah suasana konsentrasi kepada al Haq (zat yang maha benar) dan pengikhlasan hati. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka syarat-syarat dalam adab-adab tertentu harus dilaksanakan dalam rangka mencapai perbaikan niat, pemikiran dan kesadaran dimana satu sama lain saling terkait.
            Muhamad Mahdi menjelaskan bahwa syarat-syarat pada tiap-tiap tahap untuk mencapai kesempurnaan ruhani seperti meninggalkan adat istiadat, pengawasan, kesadaran, niat, sikap diam dan rasa lapar. Semuanya itu memiliki hubungan dalam melaksanakan khalwat. Hakekat keterputusan dan menghilangkan berbagai halangan serta menghindari hal-hal yang menghambat konsentrasi dianggap terkumpul di dalamnya.
            Selanjutnya pada tahap (diam, rasa lapar, meninggalkan tradisi dan budaya, serta mengikhlaskan niat), dimana si penempuh spiritual menyucikan mulutnya dengan sikap diam dan suasana jiwanya dengan rasa lapar, dan niat dengan penjernihan pikiran dan perilakunya dengan meninggalkan adat istiadat dan budaya serta menyiapkan lahan untuk khalwat. Karena tujuan pada tahap-tahap ini ialah mencapai keadaan keterputusan hubungan dengan orang lain. Maka jelaslah bahwa khalwat dari manusia yang pergaulan dengan mereka akan menyebabkan tidak tercapainya tujuan ini, akan memberikan suatu hasil yang positif. Pergaulan dengan manusia dan tumpukan persoalan boleh jadi tidak akan mendatangkan konsentrasi, suasana spiritual dan keterputusan.
            Namun harus disadari bahwa khalwat bagi orang-orang yang berjalan menuju kesempurnaan, kebahagiaan ruhani, dan hakekat insani termasuk hal yang penting. Selama maksud khalwat belum terwujud, maka lahan pengkonstrasian tidak menjadi siap, begitu juga kemajuan, kejernihan hati, dan keikhlasan batin tidak akan pernah bisa diraih. Jika demikian maka penempuh ruhani tersebut tidak dapat menjadikan perjalannya berada di satu garis dan menuju orientasi ilahi. Ia mengaruhi hidupnya dengan penuh kegoncangan, kegelisahan dan kebimbangan.
            Adapun tugas-tugas sosial seperti pergaulan, persahabatan dan mengajarkan akhlak tidaklah menghilangkan makna dari khalwat tersebut. Apabila masyarkat adil dan tercipta kota idaman, maka manusia berada dalam keadaan kematangan. Pendidikan dan pengajaran, penyempurnaan, perjalanan menuju kebahagiaan, pencapaian hakekat, pencarian makrifat dan spiritual di masyarakat seperti ini dianggap sebagai ibadah, ketaatan kepada Allah dan sebagai sarana untuk kesadaran dan kemajuan.
            Para penempuh ruhani melaksanakan, tugas-tugas individual dan sosial yang terkait dengannya, setelah melaksanakan khalwat khusus, selanjutnya ia melaksanakan khalwat umum. Hendaklah ia menunaikan dengan niat tulus dan keikhlasan penuh. Ia tidak boleh hanyut di tengah-tengah arus masyarakat yang rusak, bodoh, tidak sadar, tidak teliti, dan bebas. Sehingga dalam realitas kehidupan yang penuh dengan dosa ada orang-orang suci yang menjadi teladan dalam masyarakat.

C.    PENDIDIKAN PSICO-SPRITUAL SULUK
Dalam membentuk etika dan estetika spritual, pengikut suluk tarekat Naqsyabandiyah melakukan beberapa ritual. Ritual tersebut mereka jalankan dalam bentuk zikir, pikir, dan muraqabah. Ketiga pilar tasawuf ini diyakini oleh setiap anggota tarekat sebagai satu-satunya jalan yang mampu membentuk psikospritual dalam kehidupan mereka.
Pengikut tarekat yakin bahwa orang mampu melaksanakan zikir dengan benar maka jiwanya akan bersih dari berbagai halangan yang mengganggu aktifitas ibadah. Dengan sendirinya tertanam pada seorang salik sifat-sifat psikologis yang cenderung senantiasa ingin beribadah kepada Allah.
Nilai psikospritual ini akan menuntun dan membetuk karakter sang salik untuk lebih khusuk (konsentrasi penuh) dalam beribadah. Sehingga  kenikmatan zikir kepada Allah dirasakan oleh sang salik. Kenikmatan zikir inilah yang membawa sang salik untuk selalu beretika dan bernorma sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
Sebagian besar pengikut tarekat Naqsyabandiyah berpandangan bahwa akhlak yang mulia pada seseorang merupakan pancaran dari ”cahaya” Tuhan yang limpahkan kepada manusia. Manusia akan berakhlak mulia apabila nur Tuhan itu mampu menyinari dirinya. Semakin terang cahaya tuhan menerangi jiwa manusia, maka akan semakin luhur akhlak manusia tersebut. Oleh karena itu, dalam ajaran tarekat Naqsyabandiyah akhlak yang mulia tidak bisa hanya dibuat oleh manusia, tetapi harus ada campur ”tangan” Tuhan.
Pembentukan akhlak ini dapat diperoleh dengan mendekat diri pada Tuhan melalui zikir. Zikir yaitu aktifitas melafalkan asma Allah atau dengan cara mengingat Allah. Zikir dapat dilakukan dengan suara yang keras (jahr), suara yang lunak, dan di dalam hati (khafi). Zikir jahar dilakukan dengan metode mengeluarkan suara yang bisa didengar oleh orang yang berada disekitar salik. Sedangkan zikir khafi khafi dilakukan dengan cara melafalkan nama Allah di dalam hati sembari memejamkan mata.
Ucapan zikir terdiri dari dua bentuk, yaitu zikir Ism Zat dan Nafi Itsbat. Zikir Ism Zat yaitu mengucapkan kata ”Allah” berulang-ulang di dalam hati sembari mengingat Allah. Zikir Ism Zat ini dilakukan dengan jumlah zikir 5.000 kali, sampai 11.000 kali.[8]
Sedang zikir nafi itsbat yaitu mengucapkan lafal ”La ilaha illallah” di dalam didalam hati dengan metode yang diajarkan oleh mursyid sebanyak 70.000 kali sampai 490.000 kali.[9]
Selama menjalankan suluk seorang salik dituntun oleh mursyid tentang jumlah zikir ism zat dan nafi itsbat yang harus diucapkannya. Zikir dalam suluk diawali dengan zikir ism zat sebanyak 5.000 kali, kemudian jumlah zikir itu akan semakin bertambah berdasarkan ketentuan yang diatur oleh mursyid. Setelah menyelesai zikir sampai pada tingkat 11.000 kali, kemudian zikir dilanjutkan pada zikir nafi itsbat sebanyak 70.000 kali. Jumlah zikir ini pun terus bertambah sampai 490.000 kali.[10]
Selama menjalankan zikir, seorang salik dituntut untuk mematuhi adab zikir. Zikir yang diucapkan tidak sesuai dengan adab berzikir akan menjadi penghalang bagi salik untuk memperoleh dan merasakan kenikmatan berzikir. Zikir yang sesuai dengan adab berzikir akan membuat seorang salik hanyut dalam dunia keilahian. Ia akan merasakan kekuatan spritual (mistis force) dari lafal zikir yang diucapkan. Kekuatan zikir ini mampu membuat seorang salik fana[11]  dan baqa[12].
Ketaatan dalam melaksanakan zikir akan membawa seorang salik pada kecerdasan spritual. Berdasarkan pengalaman dan pengamalan para penganut tarekat naqsyabandiyah, zikir juga berfungsi mengeluarkan sifat-sifat mazmumah dari diri muzakkir, kemudian  akan ddimasukkan oleh Allah Swt dalam diri sang salik sifat-sifat mahmudah. Sehingga terbentukkan akhlakul karimah pada diri seorang salik. Sifat tersebut akan mengantar salik pada kecerdasan spritual.
Penganut tarekat yakin bahwa kecerdasan spritual yang dibentuk melalui pelaksanaan zikir dalam suluk akan berdampak pada pola hidup sehari-hari. Yang dengan sendirinya akan membentuk psikospritual yang luhur pada salik.
Dalam tarekat Naqsyabandiyah terdapat 3 tingkatan  zikir. Ketiga tingkat itu adalah (a) dzikir ism al-dzat, (b) dzikr al-lata’if, (c) dzikir nafi wa isbat. Ketiga mazam zikir inilah yang harus dibaca oleh seorang salik ketika melaksana suluk.
Selain zikir, dalam ajaran suluk juga terdapat ajaran wuquf. Wukuf secara harfiyah (kebahasaan) berarti berhenti. Maksud berhenti disini yaitu berhentinya seorang salik yang telah berzikir untuk memandang Allah SWT.
Ajaran terakhir pembentukan spritual dalam tarekat naqsyabandiyah yaitu muraqabah. Muraqabah yaitu kesadaran yang terus menerus dari seorang hamba Allah akan pengetahuan Allah pada semua keadaannya.[13]
Ahli muraqabah dapat dibedakan dalam tiga keadaan, pertama, orang merasakan kehadiran tuhan dalam setiap gerak dan tingkah lakunya. Kedua, orang yang beribadah seakan-akan melihat Allah. Ketiga,  orang menghindari semua pikiran jahat dan memasuk pikiran baik dalam setiap olah pikirnya dalam rangka membentuk psikospritual yang luhur.[14]
Ketiga keadaan ini merupaka kunci bagi kenikmatan zikir dan pikir bagi ahli salik yang menempuh jalan spritual. Selain itu, aktifitas muraqabah ini dilakukan juga oleh salik dalam berbagai situasi dan kondisi. Karena dengan muraqabah ahli tarekat akan merasa bahwa setiap aktifitasnya mendapat pengawasan dan kontrol dari Tuhan. Pengawasan ini akan melahirkan suatu akhlak mulia pada orang yang menjalankan ajaran tarekat.

D.    PENUTUP
Pendidikan di kalangan penganut ajaran sufistik, bertujuan membentuk psikospritual yang kuat kepada Tuhan. Pembentukan tersebut dapat dilakukan dengan cara melatih dan mengolah rohani manusia dalam bentuk ritual suluk. Suluk yaitu menyendiri melakukan kegiatan-kegiatan dalam bentuk zikir, fikir dan muraqabah dalam rnagka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Pendidikan dan pelatihan rohani dalam suluk akan mampu membentuk pribadi salik menjadi manusia yang berakhlak mulia. Akhlak yang mulia merupakan pancaran nur ilahi yang didapatkan melalui pengamalan ajaran sufistik.




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Cyprian Rice, Berdialog dengan Sufi-sufi Persia, Bandung: Pustaka Setia, 2002
Fuad Said, Hakekat Tarekat Naqsyabandiyah, Jakarta: Husna Zikra, 2001

Jalaluddin, BPU dan Seribu Satu Wasiat Terakhir, Ujung Pandang: Persatuan Pengamal Tarekat Islam, 1987

Mulyadhi Kartanegaram, Tarekat Mawlawiyah, dalam buku Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, editor Sri Mulyati,  Jakarta: Prenada Media, 2005

Ummu Salamah, Sosialisme Tarekat, Bandung: Humaniora, 2005



[1]Dosen Jurusan Syari’ah STAIN Kerinci, doctor dalam bidang ilmu agama Islam.
[2]Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.
Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga system, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru. Kepatuhan murid kepada guru dalam tarekat digambarkan murid dihadapan guru laksana mayat di tangan orang yang memandikannya. 
[3]Mulyadhi Kartanegaram, Tarekat Mawlawiyah, dalam buku Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, editor Sri Mulyati, ( Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 323.
[4]Ibid., h. 91 – 97.  
[5]Ummu Salamah, Sosialisme Tarekat, (Bandung: Humaniora, 2005), h. 1 – 2.
[6]Fuad Said, Hakekat Tarekat Naqsyabandiyah, (Jakarta: Husna Zikra, 2001), h. 79.
[7]Kata suluk berasal dari terminologi Al-Qur'an, Fasluki, dalam Surat An-Nahl [16] ayat 69, Fasluki subula rabbiki zululan, yang artinya Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu). Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik.

[8]Jalaluddin, BPU dan Seribu Satu Wasiat Terakhir, (Ujung Pandang: Persatuan Pengamal Tarekat Islam, 1987), h. 145 – 147.
[9]Ibid.
[10] Ibid.
[11]Fana secara etimologi berarti hancur dan binasa. Hancur artinya hilangnnya kesadaran seorang sufi dari hal-hal yang bersifat dunia karena kenikmatan yang ia peroleh ketika bertemu dengan Tuhan yang ia rindukan.
Pengertian fana menurut para sufi, jika di kaji secara mendalam, akan tampak jelas bahwa fana bagi mereka mempunyai banyak pengertian.
Fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Hal ini tampak jelas dalam definisi mereka, bahwa fana adalah adalah “fananya sifat jiwa” atau “sirnanya sifat-sifat yang tercela” jadi barang siapa yang fana dari sifat-sifat yang tercela maka pada dirinya akan muncul sifat-sifat yang terpuji. Dikatakan pula bahwa fana mempunyai makna terbebas dari hal-hal duniawi.
[12]baqa adalah berkekalannya seorang sufi dengan tuhan setelh menjadi fana.biasanya fana dan baqa ini brjalan seiring. Sebagaimana koin uang. Antara satu permukaan dengan permukaan lainnya saling bekaitan.
[13] Cyprian Rice, Berdialog dengan Sufi-sufi Persia, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 83.
[14]Ibid., h. 84.

6 komentar:

  1. Assalamualaikum... dimana tempat suluk.. sy mahu bersuluk... email sy jika tidak keberatan... mohdarifgiman@gmail.com

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum... dimana tempat suluk.. sy mahu bersuluk... email sy jika tidak keberatan... mohdarifgiman@gmail.com

    BalasHapus
  3. Assalamualaikum... dimana tempat suluk.. sy mahu bersuluk... email sy jika tidak keberatan... mohdarifgiman@gmail.com

    BalasHapus
  4. Assalamualaikum... dimana tempat suluk.. sy mahu bersuluk... email sy jika tidak keberatan... mohdarifgiman@gmail.com

    BalasHapus
  5. Ada di daerah sawangan jawa barat bray......

    BalasHapus